BROADCAST MANAGEMENT TRAINEE 4
Sebelum aku menerima panggilan dari Kompas TV, sebenarnya
ada sebuah rencana yang ambisius dari aku dan teman-teman dari Wanadri, mendaki
ke Venezuela, dimana terdapat gunung-gunung yang indah dan aneh. Roraima
Tepuy –tepuy adalah Gunung atau dataran tinggi dalam bahasa
Venezuela?- Gunung ini adalah anomali geografi yang berumur 18 juta tahun, dimana
batuannya sama strukturnya dengan yang berada di gurun Sahara, dan menurut para
ahli yang telah mendatanginya gunung ini memang telah terbentuk saat sebagian
bumi masih berupa dataran besar. Wow.. menarik dan sangat menantang kami,
selain itu ada misi tersembunyi kami yang menyangkut tentang ‘Ke-Wanadrian”
yaitu menancapkan bendera ekspedisi Amazonia, karena gunung ini termasuk
dalam basin Amazon di sebelah utara Brazil. Selain Roraima, Auyan Tepuy yang
menjadi rumah bagi air terjun tertinggi dunia!! Angel Fall.
Roraima atau Auyan harus menunggu, meski persiapan
menggebu harus menjadi abu. Kompas TV sudah menerima, tinggal menghadapinya.
Toh kesempatan untuk ekspedisi bisa lebih besar disini, karena sponsor yang
membiayai tiap perjalanan pasti ada, tak seperti swadaya, yang terlunta untuk
mengadakan pendanaan pribadi atau belas kasihan dari para tetua.
Sebenarnya sudah dua kali aku mengajukan diri ke Kompas
TV, sudah terlupa waktunya tapi yang jelas, pertmakali aku mendaftar jadi
reporter, yang saat itu di tes di depan kamera untuk melaporkan sebuah berita.
Yang kupilih saat itu adalah Olahraga, sebuah berita tentang Moto GP, yang
dibawakan tergagap dengan sorot tegang dan genggaman tangan basah-basah dingin.
Kedua kali, mendaftar setelah mengunjungi jobfair di ITB,
sebenarnya buat mencari scholarship ke luarnegeri, tapi saat itu juga ada
Kompas yang membuka lowongan buat fotografer-yang tentunya aku apply dengan
menggebu, juga Kompas tv yang sedang mencari Reporter untuk barisan BMT nya.
Keduanya ku daftarkan hari itu juga, selain kertas-kertas scholarship yang ku
pegang -hawaii untuk jurusan Hubungan Internasional (fiuuh) dan Scholarship ke
Negri Belanda-.
Panggilan pertama untuk percobaan kedua kali, aku
mendapati diri di depan seorang HRD, perempuan yang bertubuh besar dan
berkacamata, dengan muka yang tanpa ekspresi tapi tidak judes tidak pula ‘sok
baik-biasa saja’- mbak Fifi panggilannya. Dia membahas isi CV ku dengan
pertanyaan soal ke-Wanadrian ku itu. “Jadi kamu pergi menjelajah untuk
organisasi ini dan tidak dibayar sepeser pun?”, jawabku”iya betul, mba”. “wow,
berdedikasi sekali...kayaknya kamu cinta sekali dengan organisasi ini”. Jawabku
lagi ”iya betul, mba” (sambil senyum). “Trus kamu hobi foto juga?”tanyanya
dengan muka agak condong ke arah ku. “hmm, iya, mba, sempat juga bekerja
sebagai fotografer, dan disetiap perjalanan saya selalu menjadi bagian
dokumentasi, karena itu menyenangkan saya”. “Kalau begitu kenapa tidak
mendaftar sebagai VJ saja? (Video Journalist-red)”. “oh begitu ya mbak?
Tapi saya belum punya pengetahuan soal kamera yang digunakan disini, lagian
saya berpengalaman di fotogafi bukan video..”. “Ga papa kan nanti juga
diajarin”. “oh, ok kalau begitu mba, saya tambahakan di form aplikasinya”.
Keluarlah daku ke ruang tunggu setelah perintah menunggu terlempar, dan kalimat
informasi bahwa setelah ini aku akan diwawancara ‘user’ atau Manager News,
yaitu: Mas Yogi.
Sambil duduk aku mendengarkan celotehan orang-orang
‘calon’teman seangkatanku, yang bercerita tentang wawancara mereka, mungkin
informasi bisa didapat dari orang-orang yang lebih berpengalaman di dunia
broadcast seperti ini, itu pikirku.
Akhirnya, nama ku terpanggil dari mulut seorang HRD yang
menjaga meja depan sebuah ruangan di lantai 7 gedung Kompas ini. Setelah
diantarkan, aku memperkenalkan diri dan duduk di depan seorang yang sedikit
tambun, tapi bermuka ramah. Dialog pertama kami adalah soal Wanadri (lagi),
ternyata Mas Yogi sangat tertarik soal kegiatan ekstrakulikulerku ini, yang
sebenarnya tidak pernah ku anggap sebagai ‘ekstrakulikuler’ tapi sebagai ‘main
kurilkulum’ –haha-.
Yang membuatku lega, setelah hari wawancara itu adalah,
Mas Yogi sangat tertarik untuk menjadikan aku budak Kompas, yang tentu saja
menyenangkan. Dimulailah pergolakan batin yang masih ingin berada di ‘zona
nyaman, aman, tentram, bahagia’ meski tak berduit, tolak belakang dengan
kebanggan tak hanya jadi ‘pegawai’ kompas tapi juga BEKERJA... yes.. harapan
baru banyak muncul dari sebuah kata magis itu, terbayang kota-kota yang bakalan
segera kusambangi, lautan luas yang bakalan kusebrangi, angkasa yang bakalan ku
lewati, hutan dan gunung yang akan ku jelajahi..hi..hi..hi.
Ternyata benar setelah tes psikologi dan negosiasi gaji,
aku ditawarkan untuk menandatangani kontrak, yang tanpa pikir panjang (karena
sudah sebelumnya..) ku coretkan inisial namaku dengan sentuhan artistik, yang
tak berhubungan dengan model tulisan yang di ciptakan otak, tapi lebih kepada
gerakan refleks tulang belakang atau populer di kalangan militer dengan sebutan
‘muscle memory’.
“the luck comes late,
and it’s ordinary” -Bima Prasena-
Comments
Post a Comment