KATHMANDU KE HIMALAYA
Negri ini bak negri dongeng, punya puncak puncak
tertinggi di muka bumi. Tempat berkumpulnya manusia dari berbagai negri. Tempat
lahirnya kisah kisah heroik tentang petualangan, kisah cinta akan keindahan
alam juga tempat praktek kesombongan manusia untuk menaklukkannya. Selamat
datang di Himalaya, Nepal.
KATHMANDU
Lorong nya begitu sempit hanya muat satu mobil berdesakan dengan para pejalan
kaki yang hilir mudik tak henti. Urat nadi kenikmatan surgawi Nepal ada disini,
membuat para Hippies selalu menyeringai dan para pendaki gagah perkasa, menari
sebelum sadar, saatnya bersentuhan dengan kematian.
Wujudnya tidak memukau,
bahkan jauh sekali dari indah, entah apa yang ada dipikiran para pendatang
sesaat dari barat itu, di rumah mereka tersedia apapun, dengan keindahan
tatanan kota dan tempat wisata yang begitu mempesona, sekecil apapun
atraksinya. Tetapi itu tidak membuat mereka lantas melupakan sebuah titik di
peta bernama Nepal, tidak. Turis malah semakin banyak dan berjubel untuk
menikmati “keindahan” Kathmandu, Nepal.
![]() |
Pemandangan Biasa - Para penjaga kedamaian selalu menenteng senjata disini. |
Berbagai perlengkapan
penyambung hidup para penjelajah Himalaya, dari sepatu trekking hingga
peralatan pemanjatan es atau bahkan tutup kepala dari rambut yak yang dipilin
dan dirajut indah. Jajaran toko yang menawarkan penukaran uang asing pun
bertebaran, apalagi para penjaja pisau Gurkha yang terkenal seantero dunia,
karena kepahlawanan mereka dan cerita mengerikan suku pegunungan Nepal itu di
medan perang.
Banyak yang bisa kamu
ceritakan saat melihat orang- orang yang berlalu lalang disini, celana jins
ketat dengan lubang di lutut dan baju kumal itu pasti orang lokal yang bekerja
mengangkut barang para saudagar toko. Celana gombrang, kaos kutang dan rambut
gimbal ala bob Marley, tapi satu yang salah, kulit orang itu berwarna putih,
mereka adalah para pencari kedamaian. Atau jaket North Face dengan celana Black
Yak biru mentereng, bersanding dengan tongkat hiking di kedua tangan merah
maroon, dipastikan itu adalah hikers atau bahkan para expeditor yang bersiap
menapaki Himalaya. Aku berada diantara mereka, dengan celana jins biru, dengan
baju kaos seadanya, tetapi dengan sepatu trekking yang cukup mumpuni untuk
menerjang daerah separah Himalaya, dan tak lupa tas pinggang kecil ala
traveler.
![]() |
Becak - Siap antar siap dibayar!. |
PETUALANGAN
Petualangan ini akan mengambil rute pendakian dari Lukla
menuju basecamp Everest dan juga penaklukkan puncak Lobuche Timur, tapi semua
harus bermula di gerbang Himalaya, sebuah kota yg sebenarnya indah, namun
terlalu sederhana sebagai ibukota, terlalu sumpek untuk berwisata, disini, di
Kathmandu. Klakson berbunyi di kiri kanan minibus yg menjemput kami dari
Bandara Internasional Svarnabumi, beberapa saat lalu kami melewati gerbang yg
bertuliskan Welcome, berharap ada tarian penyambutan tetapi yg kami dengar
adalah konser brisik para supir yg berebutan jalur di jalanan yg tak begitu
lebar, iklan minuman bersoda berwarna merah mencolok mata karena besarnya
hampir menutupi gedung di belakangnya, bangunan bertingkat tak beraturan
memenuhi pemandangan di pinggiran jalan utama. Mobil mobil mini hilir mudik tak
karuan bercampur dgn pedagang kaki lima di pinggir jalan, para pejalan kaki,
pesepeda hingga sapi.
![]() |
Thamel Market - Sejumput kehidupan Tua dan Muda |
Jalanan di depan kami menjadi semakin sempit, hanya cukup
untuk satu mobil berebut jalur dgn pejalan kaki, semakin ku perhatikan,
semakin banyak penjaja kaki lima yg mengiba supaya turis membeli dagangannya.
Berbagai etnis ku lihat berbaur dikeramaian, Berbagai pakaian dikenakan,
dari pakaian sari, jas berpadu dgn celana jins, atau kaus oblong bertulis
'Kathmandu' atau `om`, atau pakaian outdoor yg gagah dipakai oleh para
pendaki atau mungkin "bergaya pendaki". Kuingat plang nama jalan
jalan yg kami lewati tadi, bertulis Thamel, jadi inilah Thamel Market yg
terkenal itu, tempat para backpackers meluruskan punggungnya di tempat
tidur sederhana, tempat para pendaki gunung mencari peralatan untuk ekspedisi
mereka.
Ku rebahkan kaki di atas kasur yg cukup empuk,
setelah ku susun semua peralatanku yg banyak di bawah tempat tidur, ku
buka jendela kaca hingga 180 derajat, bangunan hotel kami yg berbentuk 'n'
menghadap ke pertigaan di ujung Thamel Market, dari lantai tiga ini
terlihat kesumpekan yg kami hadapi saat pertama kami tiba. TV mengeluarkan
suara - suara yg tak ku kenal, seorang perempuan menggunakan busana India,
tetapi bahasanya sedikit berbeda, ku pindahkan saluran TV tetapi
pemandangan yg pernah ku lihat sebalumnya di kampung halaman pada kotak
bersuara itu, seorang lelaki berbadan tegap dan berotot menari bersama
kawan kawannya di balik sebuah pohon kecil yg terlalu kurus untuk menyembunyikan
bahkan hanya lengannya saja.
Udara tak begitu dingin juga tak begitu panas, kira
kira seperti Bandung pada siang hari. Guide kami, Ang Dawa Sherpa,
mengingatkan bahwa sebentar lagi ada peralihan musim ke musim Moonsoon yg
membawa hujan terus menerus sepanjang minggu. Tak perlu khawatir karena kami
akan menyelesaikan ekspedisi tepat sebelum musim itu tiba. Semoga.
Ku angkat sarung tangan tebal itu, AngDawa
mengangguk, ia bilang itu cukup untuk melawan dingin, ku keluarkan
lagi sarung tangan lain yg lebih tipis, Ang Dawa kembali mengangguk,
sarung itu bisa dikenakan sebelum sarung tangan yg lebih tebal, second skin.
Kami mengecek semua peralatan pendakian dan memisahkan yg tidak perlu kami bawa
untuk mengefektifkan pendakian, Ang Dawa yg bertanggung jawab akan semua
peralatan yg kami bawa, dia adalah seorang Sherpa pendaki berbadan tinggi,
sekitar 175 cm, setinggiku dan punya badan yg menunjukkan bahwa ia
seorang pendaki mahir.
SALAH KAPRAH
Banyak orang menganggap bahwa Sherpa adalah sebutan untuk
'porter' pembawa barang, sebenarnya itu salah, karena Sherpa
adalah nama suku yg hidup di kaki gunung Himalaya, dan seorang Sherpa pun
punya keahlian masing masing, tidak semua memiliki ijin pendakian, hanya
Sherpa yg lulus kualifikasi saja yg mengantongi ijin tersebut yg dikeluarkan
oleh Nepal Mountaineering Association, dan Ang Dawa Sherpa salah satunya,
dan belakangan kami tahu bahwa dia seorang eksekutif di NMA.
"you look like a Sherpa, with your body,
your face, If you use Sherpa language, everybody would think that you are
a Sherpa". Benarkah?, Ang Dawa meyakinkan ku bahwa perawakannku sangat
cocok menjadi seorang Sherpa. "If you are a Sherpa, your name would
be..... Nyma Sherpa". Sejak saat itu semua porter dan orang orang yg
mengenalku memanggil namaku "Nyma Sherpa" sebuah kehormatan memiliki
nama suku yg hidup di himalaya, suku lahirnya para pendaki tangguh dunia,
dari sebuah nama itu serasa aku bagian dari mereka.
Belakangan aku tahu bahwa, suku Sherpa memberikan nama anaknya sesuai hari
kelahirannya, contohnya (Lakhpa Sherpa; Lakhpa artinya hari Rabu) Aku lupa arti
dari “Dawa” yang pasti “Ang” adalah panggilan anak lelaki di suku Sherpa, dan..
tentunya “Nyma” artinya hari Minggu. Bila aku suku Sherpa, mestinya namaku
Lakhpa, tetapi entah kenapa mereka memanggilku Nyma. Mungkin melambangkan
keceriaan, karena setiap hari Minggu orang lebih ceria dibandingkan keesokan
harinya, dijamin.
![]() |
Mendaki - Lihat kakinya, trek ini begitu menanjak, suku Sherpa setiap harinya melakukan hal berat di ketinggian ekstrim. |
![]() |
Porter - Ternyata tak semua porter ku berasal dari suku Sherpa, ada pula yang nenek moyang Mongolia. |
BANDARA PALING BERBAHAYA
Hari ini kami harus memakai pesawat kecil untuk terbang
menuju Lukla, desa setinggi 3300 mdpl. Ini terkenal dgn bandara
super sibuk dan salah satu yg paling berbahaya di dunia. Dua mesin baling
baling itu meraung, saat kami melewati celah diantara gunung tinggi yg
hijau, seakan bisa teraih dgn menjulurkan tangan, tiba tiba pesawat
bergetar dan bergerak naik turun karena turbulensi yg cukup mengocok perut.
Pilot dan co-pilot di depan ku menarik tuas dan memencet beberapa tombol usang
di atas panel, kulihat ke sekeliling, pesawat kecil ini penuh sesak
dgn turis, pendaki dan Sherpa, seorang pramugari duduk di bagian
ekor pesawat yg begitu dekat dgn tempat dudukku. Akhirnya kulihat sebuah
landasan di depan kami, dari balik kaca jendela pilot using itu,
terlihat.. landasan itu tidak normal, warnanya hitam dan bertulis angka
24 warna putih. Ku perhatikan dgn seksama, ternyata jarak landasan
itu begitu pendek, sulit kupercaya pesawat ini akan mendaratkan kami
kesana, beberapa saat lagi.
Welcome to Tenzing Hilarry airport, Lukla. Namun
seketika muka tidak ramah ber-baret biru itu memakimakiku, senjata di
tangannya buatan tahun 1920-an, dia membuka kunci gerbang dan menyuruhku
keluar, wow. Dia adalah polisi bandara Lukla yg mungkin sudah jengah
menghadapi turis yg potrat potret di dalam landasan terbang dan mendapati
puncaknya saat aku mengarahkan lensa lebarku ke arah mukanya. Dari balik jeruji
besi pembatas kulihat teman teman dan para porter juga Ang Dawa bersiap untuk
berangkat. Perjalanan singkat menuju sebuah hotel yg sederhana. Kami naik ke
lantai dua, memesan kopi hangat dan spaghetti, sementara para porter
sibuk memilah peralatan untuk masing masing mereka bawa dgn ikatan di kepala.
Dari beranda, kulihat ke arah kiri, sebuah
landasan pacu bandara Lukla tempat kami mendarat tadi. Ternyata
konstruksinya dibuat miring mungkin sekitar 30 derajat menanjak dari tempat
roda pesawat pertama kali menyentuh aspalnya, di ujung landasan seakan
terputus, jurang yg entah berapa dalamnya, ditemani pemandangan
menakjubkan, gunung gunung himalaya, yg bebrapa diantarnya masih
hijau dan yg dikejauhan terbalut putih salju.
Perjalanan impian seorang pendaki, ke tempat suci
buat kami, para penikmat alam, tempat kami berinteraksi, mencicipi
sebagian kebesaran, tantangan, keindahan dan kesulitan dari sang
Ibu Bumi.
![]() |
Keamanan - Pos keamanan serupa kujumpai di beberapa desa |
Comments
Post a Comment