 |
Pertama - Ekspedisi Kompas TV pertama di Gunung Lobuche Timur. |
Malam itu
begitu pekat, hanya sinar dari senter kepala yang menyinari sebagian trek di
depan. Tetapi itu pun tak cukup memberikan gambaran besar trek yang kuhadapi.
Sepatu Double-boots
yang ku kenakan begitu pas, namun sangat tak bersahabat, karena sepatu ini
seaakan punya “pride” nya sendiri, yang ogah tertekuk mengikuti kaki besarku
ini. Cara berjalanku seketika berubah, langkah pun seakan begitu lambat, seakan
sendi mata kakiku tidak pernah tercipta sebelumnya. Trek berbatu tajam dan
sempit, suhu dingin itu begitu menggigit, Ang Dawa berjalan di belakang ku,
Nima Sherpa memimpin sebagai penunjuk jalan. Nima begitu sigap dengan trek yang
begitu acak ini, batu berserakan, namun ia sudah menghapalnya luar kepala,
karena begitu seringnya ia mengantar pendaki kesini.
 |
Gorakshep - Sebuah pemukiman tidak tetap sebelum Everest Basecamp, tempat ku beristirahat setelah terkena AMS (Accute Mountain Sickness) |
Beberapa jam
lalu, kami masih bersiap di desa Lobuche (4900 mdpl) berpamitan dengan kelompok
ku yang seharusnya menemaniku mendaki Lobuche Timur. Namun dua pendaki wanita
kami, mengalami penyakit ketinggian, dan dua orang pendaki lainnya harus
menemani mereka turun. Tersisa hanya aku, Ang Dawa Sherpa dan Nima Sherpa yang
berangkat dengan beban di pundak, sesekali kami memberikan jalan pada porter
Sherpa kami yang bergegas dengan membawa peralatan pendakian kami menuju High Camp
di ketinggian 5.100 mdpl. Suasana bukit botak berpasir dan sesekali ditumbuhi
rumput itu begitu damai, taka da suara gaduh, hanya pemandangan menggelegar
dari puncak puncak es Himalaya.
 |
Lobuche High Camp - Ketinggian 5000-an yang punya pemandangan indah, hiingga susah untuk bernapas, literally! |
Bagiku soal
berjalan dan mendaki bukanlah sesuatu yang rumit, tetapi pengetahuan dasar
untuk mendaki sebuah gunung atau pegunungan yang lebih tinggi dari 3000
mdpl-lah yang menghantui keadaan psikis dan tubuh. Aku harus berjalan sepelan
mungkin, agar tubuhku terbiasa beraktifitas dengan jumlah oksigen yang jauh
lebih sedikit dari pada normal dan semakin berkurang. Para Sherpa di
sekelilingku berjalan begitu cepat, mereka sudah imun terhadap jumlah oksigen
ini, perubahan drastic jumlah oksigen tak mereka hiraukan, karena mereka memang
“diproduksi” di tempat seperti ini, tinggi dan ber-oksigen tipis.
Trek ini
masih datar, sesekali mendaki terjal tapi tidak begitu parah, di seberang
lembah kulihat sebuah bukit yang puncaknya tertutup sedikit es, hanya seluas
lintasan bowling, tetapi tetap membuatku penasaran untuk mencicipi berjalan di
atasnya.
 |
Himalaya Mempesona - Tak kamu dapat setiap hari pemandangan seperti ini, gemunung Himalaya menusuk langit. |
|
Berdiri diatas sini begitu sunyi, bahkan
angin pun tak mampu mendaki kesini, hamparan putih yang terbentang dibawah
kaki, juga biru yang mengharu diatas ku, semua ini kunikmati dari balik lensa
kacamata khusus yang menunda bola mataku melihat hitam selamanya, mentari itu
bersinar terang dengan lidah cahayanya yang memancar kemana-mana. Suhu dingin
menjadi rancu, meski angkanya membelalakan mata yang melihat air raksa pengukur
itu menjadi beku, olah tubuhku yang sudah dimulai sejak tengah malam tadi,
membuat panas dibalik tebalnya dinding bulu bebek terjahit dalam kain pemisah
antara kulitku dan dingin disekitarku. Dadaku mengerang, meminta oksigen yang
susah payah ku tangkap disetiap tarikan nafasku, lututku menjerit, medan yang
hampir tegak lurus tadi memaksanya untuk membawaku ke tempat yang lebih tinggi,
badanku berontak, tapi.. pikiranku begitu bersih, tenang tanpa beban, meski
hatiku begitu mengiba untuk mengerti apa yang sebenarnya kurasa saat ini, tak
bisa diurai dalam kata, tak bisa pula tertuang dalam tulisan, hanya aku dan
hatiku yang bisa merasakannya. Kubuka saku kiri dari jaket tebal buatan Rusia
itu, selembar kertas tebal yang halus, tercetak gambar empat wajah yang begitu
ku kenal, dari titik tertinggi itu aku mengucap doa, semoga aku dan mereka
punya hati selembut salju, seputih es dan secemerlang langit, namun kuat dan
perkasa layaknya raksasa yang sedang kudaki dahinya.
“mendaki
itu capek, sulit, tidak enak tapi karena keadaan yang mendekati nol itu yang
membuatmu membuka topeng, menjadi murni, bersama mengahadapi hambatan dengan
kemurnian, tertawa karena sengsara, begitu nikmatnya, begitu dasyatnya hingga
tak semua bisa mengerti artinya, tak semua menginginkannya”.
 |
Sakura Garden - Nikmat Tuhan apalagi yang kau dustakan? |
 |
Ang Dawa Sherpa - Bima Prasena (Nyma Sherpa) - Ningma Sherpa |
 |
Kenangan - Jalur pendakian Himalaya dihiasi monumen kenangan sederhana bagi para pendaki yang telah tiada. |
 |
Zopyok - Hewan hasil persilangan antara Kerbau dan Yak (cenderung menanduk manusia bila ada di depannya) |
 |
Setelah Badai - Mentari masih malu-malu setelah turun salju |
 |
Gorakshep - Bangunan beton terakhir sebelum bertemu Dewi Bumi, Everest. |
 |
Selamat Datang - Kawasan Himalaya yang kami daki termasuk dalam Taman Nasional Sagarmatha. |
Comments
Post a Comment