TUKIK MENARI DI SANGALAKI
Alam
dan manusia bisa bersatu, berbagi keindahannya masing masing, merangkai bait
harmonis, mencipta sinema kelas dunia, yang berjalan sendiri namun simetris.
Terpencil, tenang dan sekaligus ramai. Ramai dgn kehidupan yg jarang kita
lihat, kehidupan yg mestinya kita pelihara, jaga dan tak henti memandangnya.
“mereka (tukik)
dimana-mana, semalam ada yg di bawah resor kita ini, berjalan memencar kesana
kemari” ujar Rozak, teman seperjalananku. Para penyu mungkin sudah toleran
terhadap manusia disini, mereka tak malu bertelur bahkan di depan kamar resor
pun. Mungkin mereka menganggap manusia di pulau ini induk tirinya, yg sewaktu
kecil membawa mereka dari sarang penetasan telur ke tempat yg lebih aman dari
pemangsa, dan melepaskan mereka di waktu yg tenang pula.
Penyu Hijau.
Tukik ini terus melakukan gaya renangya di udara, matanya besar dgn mukanya yg
lonjong kecil, bersama paruhnya yg runcing ke bawah. Cangkangnya berwarna hijau
tua samar berpola segi enam yg sepintas simetris, bagian abdomennya berwarna
putih dgn pola segi empat teratur. Tak berdaya, tampangnya seakan mengiba untuk
membiarkan mereka ke lautan lepas, tapi maaf, tidak sekarang, tidak siang ini,
karena kemungkinan selamatnya begitu kecil, para pemangsa yg telah menunggu
dari segala penjuru, siap dgn hidangan istimewa ini. Satu ember besar Tukik
akan kami lepaskan di pantai bagian Timur pada saat malam tiba, memberikan
mereka kesempatan lebih banyak untuk bertahan hidup, lebih besar, lebih kuat,
dari mereka yg sekarang.
![]() |
Tukik - yang mereka tau hanya berenang ke lautan, dan manusia membantu mereka. |
Dari
bawah pasir muncul kehidupan baru, begitu kecil, begitu lucu, sebuah harapan
keberlangsungan hidup satu spesies yg berjuang demi keseimbangan. Muka kecil
mereka muncul terlebih dahulu, bersama cangkang hijau kecil itu, meronta dan
berlomba menuju deburan ombak. Sesekali mereka menengok ke tempatnya
dilahirkan, mengingat koordinat tempat itu dgn bantuan alam, mengingat untuk
kembali, saat waktu nya mereka harus meneruskan kehidupan baru nantinya.
Sangalaki
Resort, tempat kami menghabiskan waktu 3 hari 2 malam di pulau ini. Hanya ada
beberapa bangunan saja di tempat seluas 16 hektar, yg cukup kita kitari dalam
15 menit berjalan kaki. Airnya begitu bening dan dangkal, dari depan club
house, di atas pasir putih, pemandangan ke barat di temani oleh deretan papan
kayu panjang sebagai dermaga, dan di Timur 2 menara suar di atas air berkerlap
kerlip kala malam tiba, mengingatkan para pelaut akan air yang beigtu dangkal,
namun dalam akan kehidupan di bawahnya.
Pemandangan
kecil nan indah. Ku siapkan lensa makroku, ku periksa kembali apakah ada
penyekat housing bawah airku yg bocor. Wetsuit sudah terpakai, fin,
googles dan peralatan lainnya ku tenteng sambil sesekali merubah posisi
karena gaya gravitasi yg keterlaluan dari housing underwaterku. Berjalan
menuju perahu cepat, dengan beberapa orang sudah bertengger diatasnya. Perahu
berjalan begitu pelan karena perairan yg dangkal, hingga akhirnya seperti
terbebas melaju setelah masuk ke perairan yg biru, menuju ufuk barat.
![]() |
Nemo |
Manta
Point. Titik penyelaman ini tak begitu jauh dari resor
yang kutinggali serasa bisa berenang kembali kesana. Dari atas airnya biru tua,
di bawahnya pasir putih mendominasi, sponge besar besar menyambut kami,
beserta seluruh isi lautan Sangalaki yg sudah berdandan, dgn kemeja warna
warni, dgn bentuk yg bervariasi, dan kelakuan yg bikin para penyelam seperti
kami terpatri. Sesekali dua strobe underwater ku mengeluarkan cahaya
menyilaukan, membekukan gerakan para ikan dan kegiatanya. Ku lihat sesekali
layar 3 inchi ku di kamera, warna warna begitu terang dan jelas, menantang,
menundang untuk terus memperhatikan tapi tak bisa, karena aku tak bernapas
seperti mereka, jumlah udara di tangki oksigenku yang menentukan semua.
Goby
pasir itu malu-malu, kelakuannya seperti seekor anjing gurun, tengok kanan dan
kiri memperhatikan sekitarnya dgn waspada, bila ada yg tidak ia sukai, ia akan
lari kembali kedalam lubangnya. Nemo, ikan ini mungkin jadi favorit penyelam,
karena ia tidak kemana-mana, setia dgn anemonnya yg membakar bila tersentuh,
menari – nari penuh semangat di lambaian tabung-tabung anemon, warnanya yg
merah bercampur balutan putih, kontras dgn hijau transparan si inang.
“Kali ini
tidak ada plankton, makannya kecil kemungkianan kita melihat Manta tadi” ujar
si pemilik Sangalaki Resor, Pak Joni. Ia menyelam sejak tahun 90-an, begitu
ramah dan informatif. Tak henti ia mencoba memberikan ilustrasi tentang apa yg
ada di perairan ini, terutama soal Manta. Disini memang surganya Manta,
tergambar dari banyak nya spot menyelam yg menggunakan nama Manta. Manta
Poit, Manta Run, Manta Avenue, Manta Parade semua
berjubel di depan pulau Sangalaki. Bahkan dari situs internet, Manta di
Sangalaki adalah salah satu yg terbesar di dunia. Sayang kami belum bertemu
dengannya.
Comments
Post a Comment