NAMCHE BAZAAR
![]() |
Namche Bazaar - Kehidupan yang tenang di tengah antah berantah, atap bangunan warna-warni seolah memberi kesan bahwa disini semua berwarna dan "santai saja kawan" meski jauh dari peradaban. |
“Hemat
nafasmu!, oksigen begitu berharga! Kau akan mencarinya meski ia ada di dekatmu,
tubuhmu akan memintanya dengan sangat. Minum airmu, ia tak sekedar melepas
dahaga yang bahkan tak kau rasa, dia akan menjaga hidupmu hingga saatnya engkau
kembali pulang”
Bayangkan
sebuah tempat yang penuh manusia berbeda bangsa, jauh darimana pun juga, tanpa
akses transportasi kecuali terjun dengan parasut atau menumpang pesawat dengan
sayap rotary (helicopter-red), dibangun di ketinggian 3000-an dimana sang
Oksigen begitu diaggungkan, dan sinar matahari begitu dinanti.
Namche
adalah sebuah desa di sebuah lembah di dalam Taman Nasional Sagarmatha, yang
butuh waktu minimal 4 hari 4 malam untuk mencapainya, dengan JALAN KAKI. Pintu
gerbang itu menendakan bahwa aku sudah masuk ke dalam perkampungan Namche,
sungai kecil di sebelah kanan, seringkali digunakan para perempuan Namche untuk
mencuci, airnya sedingin es, tapi rupanya begitu indah dibandingkan sungai di
kota Jakarta, pastinya! Sebuah pagar dari kayu di sebelah kiri, tertambat kuda
dan zopyok yang berjajar menunggu sang empunya membawakan mereka rumput segar
dan bergalon air minum setelah pendakian melelahkan yang mereka tempuh.
Tempat ini
begitu mencolok, secara geografis Namche berada tepat di ujung lerengan lembah
yang berbentuk N atau bila terlihat dari Utara, berbentuk V yang sempurna, dan
terhias warna warni atap penginapan, restoran, toko penjual peralatan
pendakian, pemukiman, sekolah, perpustakaan, komplek militer dan bangunan
keagamaan yang di bagian atasnya terlukis mata Buddha. Namche begitu ramai
sekaligus begitu terpencil. Keramaian ini disumbangkan oleh kata BAZAAR yang
berarti pasar, bila melihat ke peta topografinya, Namche adalah desa pertemuan
jalur dari Lukla, Nepal dan Jalur dari Tibet. Dan disinilah biasanya pertukaran
mata uang dengan cara tradisional terjadi. Para pedagang yang menggunakan Yak
atau Zopyok berbondong bondong menggelar lapak mereka disini, namun kesempatan
itu tak kudapat, sayang.
Bagai meraih
udara yang terhisap, kita hidup namun tak melihatnya, begitulah NAMCHE BAZAAR,
yang begitu semu sebagai titik start dan finish bagi pendaki. Semua tersedia
disini bahkan ada toko yang menjual barang barang RAB buatan Inggris yang sama
sekali tidak dijual di Kathmandu, mereka mendatangkan langsung menuju kesini,
eksklusif. Koneksi internet yang mudah mudahan tersambung dan saluran telepon
yang bisa mengobati kerinduan pun tersedia. Makanan, peralatan, cindera mata
bahkan Irish Pub. Seakan inilah titik awal untuk pendakian menuju titik
tertinggi Bumi, sebagai awal untuk melakukan aklimatisasi, juga sebagai pelepas
lelah setelah para pendaki mengantungi titel orang tertinggi di muka bumi.
Namun itu tak nyata, Lukla masih jauh begitu pun Kathmandu, dan masih ribuan
depa menuju rumah.
Rumah
berlantai dua itu seakan menebar senyumnya, ku buka pintu kayu berwarna cokelat
muda itu, tapi langkahku membuat gaduh lantai yang terbuat dari papan, tak ada
meja resepsionis, yang ada hanya tangga sempit menuju ke gang kamar-kamar
lantai dua, segera aku mencari pntu kedua yang berada tepat disamping kanan ku.
Kulangkahkan kaki ke dalam ruangan yang entah kenapa begitu nyaman, udaranya
yang hangat dan suasana kekeluargaan yang begitu erat menyebar. Kami berpelukan
merayakan keberhasilan kami berada di 3500 mdpl, mengharukan. Secara resmi
inilah ketinggian diatas 3000-mdpl-pertama-ku, (naik pesawat tak termasuk-red)
susah payahnya kami terbayar saat ini, cukup dengan teh susu manis hangat yang
sudah tersedia, dan nasi dalbhat khas nepal yang mengepul, semuanya berkat
kecekatan tangan para Sherpa kami, Namaste!
Mimpi! Ujung
runcing itu berwarna putih, begitu kontras dengan latar belakangnya yang biru,
sangat biru! Lerengnya yang abu abu kehitaman tersiram putih salju yang enggan
mencair, awan laksana para penjelajah yang lewat begitu saja didekatnya, ini
mimpi, Mata Buddha dari bangunan dibawah itu seakan memperhatikanku menatap
indahnya pucuk gunung di depan, samping kanan, samping kiri seakan tempat ku
ini sedang terkepung raksasa perkasa berzirah putih-abu, dan mungkin juga suatu
tempat di depan sana, di titik hitam curam itu, seekor Yeti juga melakukan hal
yang sama... Mimpi ini begitu nyata, kulihat dengan mata kepalaku sendiri
puncak puncak tertinggi di bumi, tak kusangka petualangan dan keberuntunganku
membawa jasadku kesini, remah petualangan Sir George Everest, George Herbert
Leigh Mallory, Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay sedang kucicipi, kakiku
menapak tanah damai bangsa Nepal, paruparuku menghisap udara segar pegunungan
yang kering namun dingin, kulitku terpapar hembusan angin surgawi sang Dewi
Bumi, ini masih mimpi.. namun aliran adrenalin membuat jantungku berpacu,
melepaskan tanda lelah yang seketika membuka sadarku, ini nyata.
Comments
Post a Comment