BROMO DALAM ESCAPADE
Kerudung
putih yang terbang menutupi puncak itu menyibak pemandangan lain, bukan untuk
menutupi tetapi melukis kembali. Bromo di bulan November memberikan detail
lukisan alam dengan asap putih tebal yang membumbung tinggi, sedangkan sang
Tengger hanya diam terpaku di tengah lautan putih. Lautan pasir abu-abu
mencetak jejak kuda mesin manusia yang melintasinya, berdamai dengan rerumputan
yang tumbuh meski tak hijau, tapi jelas-jelas memberikan kesan baru di atas
abu.
Dari sini,
Bromo adalah gunung pendek yang berasap. Puncak Tengger yang selalu diam, dan
selalu menemani adiknya yang rewel itu, masih saja sabar. Tak ada kekhawatiran
terlintas, saat melihat kepulan putih di puncak Bromo, bahkan menjadi sebuah
pemandangan yang indah dan baru, seakan asap itu bukan sebuah pertanda buruk,
tapi hanya pelengkap, sesuatu yang harus dilakukan, dikeluarkan, seperti biasa,
tanpa mengganggu. Deru mesin 4000 cc itu melesat diatas pasir abu-abu, diikuti
oleh deru yang sama 5 atau 6 jumlahnya, mereka tidak berhenti disini seperti
mereka, yang sibuk berfoto ria, sedang aku, sibuk dengan kameraku dan mencoba
mendengar bisikan dari pasir.
![]() |
Pasir yang berbisik - Bisikan yang datang dari semilir dan deru mesin |
Kaldera ini
selalu menerima manusia yang tak lelah mencari suaka dari kesibukan dunianya,
menyuguhkan gambar indah, menuliskan rasa di hati para pelancong surga dunia.
Satu persatu jejak kaki itu datang dan menghilang, namun rasa itu yang selalu
sama, yang selalu mengundang kembali para peziarah untuk datang dan mencicipi
lagi. Tempat ini hanya bisa dinikmati dengan perjalanan, sebuah pengalaman untuk
melakukan. Terkadang rasa datang bukan dari tempat yang dituju tetapi kesulitan
dan tantangan yang ada sebelum kaki menjejak tujuan, memberi makna lain untuk
pembelajaran.
Cerita
tentang perjalanan akan mengawetkan kenangan, memberikan pesan juga inspirasi
untuk melakukan tantangan, Escapade adalah perjalanan, Escapade
adalah wadah kenangan, yang akan menarik tangan tangan itu untuk menyentuh
sinar mentari, merasakan uraian udara, mencari kedamaian, dan semuanya berputar
kembali untuk melahirkan panutan. Guratan di pasir itu menuliskan jutaan
perjalanan di atasnya, tak pernah bosan untuk menyimpan, biru di ufuk terus
memanggil dan mengundang, meski kau tahu bahwa perjalanan dilakukan hanyalah
untuk kembali pulang.
![]() |
Bukit Cinta - lautan putih awan yang membungkuk di sekitar penguasa, Tengger dan Bromo |
Rasanya baru
kemarin kujejakan kaki di pasir yang sama, setahun lalu. Kami bertiga sibuk
dengan peralatan perekam gambar masing-masing. Mas Arbain dengan sigapnya
mengarahkan lensa kecil dengan kamera yang juga bersaing dengan ukuran lensa
mini itu, ke kanan, ke kiri, atas dan bawah. Kamera di tangannya itu pun bahkan
belum mengenal pasar penjualan di Indonesia, sebuah prototype dengan tulisan
kecil di bawah badan kamera hitam itu, not for sale. Ratusan undakan anak
tangga itu seakan menantang kami di bawah sini, tangga semen kurus yang curam
itu satu-satunya jalan menuju kawah Bromo. GoPro, 5D dan beberapa lensa kami
bawa, Adit yang selalu wira-wiri untuk merekam kegiatan kami menjadi video, di
bibir kawah Bromo kami memotret apapun yang terlihat, tak ada –ulangi- tak ada
satupun yang lolos dari bidikan lensa kami. Aku begitu tergila-gila dengan
Timelapse, benda hitam kecil bernama intervalometer itu pun tak pernah lupa ku
bawa, kemana pun. Puas dengan hasil liputan kami tentang memotret Bromo, dan
juga segudang foto dalam kartu kecil perekam yang terpasang dalam badan kamera,
kami pun memutuskan untuk turun, melewati anak tangga itu lagi. Kamera DSLR itu
tersanding di bahu kiriku, GoPro kecil di ujung tongkat itu kumasukan dalam
jaket, dan kami mulai berjalan menuju jip yang kami sewa sejak pagi. Bangku jip
ini cukup tipis untuk menahan pantatku, kamera DSLR 5D sudah berada di atas
bangku, namun aku merasa ada sesuatu yang janggal. Kamera GoPro hilang! Yang beberapa
menit lalu masih berada dalam jaketku. Sial! Ku kabarkan berita duka ini kepada
mereka, kemudian aku bergegas untuk menelusuri lagi jalan yang kami lalui tadi,
setelah hampir satu jam, tak ada apapun, lenyap sudah.
![]() |
Serangan awan - menyapa kaldera |
Kami bukan
hanya penjelajah tapi juga peziarah, mencari sebuah rasa yang tak henti dicari,
membuat sesuatu yang berarti, meski kadang hanya kami yang mengerti. Perjalanan
kami tak pernah mencapai ujung, jejak kami kami tercetak di bumi yang tak
bertepi. Perjalanan yang dimulai dari sebuah langkah kecil, tak peduli akan
kebesarannya nanti, saat ini hanya kami dan alam yang berteman, bersatu dalam
ruang keindahan.
Manusia dan
alam bersatu, mencipta sebuah makna rasa yang hanya bisa dirasa bagi para
pelakunya, meski harus melintas batas kemampuan manusia dan pergi dari lingkup
kenyamanan . Perjalanan membuka mata manusia, sebuah kodrat yang dijalankan
sejak pertama tercipta, untuk bertahan hidup dan kini, sebagai pelipur hasrat
atau bagi sebagian lagi menjadi bahasa perdamaian untuk masuk dalam perbedaan.
![]() |
Menunggu - Raksasa pendiam, Tengger yang menyambut |
![]() |
Lukisan - Pasir yang berbisik juga melukis |
![]() |
Asap Bromo - status waspada-lah |
![]() |
Sunrise - Mentari, awan dan pegunungan |
![]() |
Peziarah - menikmati dan hanya itu. |
Comments
Post a Comment