 |
Sky Scrapers - Lahan sempit namun
berdesakan dengan bangunan tinggi menjulang |
“Celotehan mereka tak ku mengerti,
bahasa mereka tak sepenuhnya kupahami, justru ini yang menarikku untuk
berpergian ke beda negeri, terserah mereka akan berbicara apa, ataupun akan
menganggap apa, aku cuma alien di negeri yang ingin ku kagumi lewat fotografi”
Rumah
bersusun.
Pantulan
sinar temaram dari langit putih membuat pemandangan dari jendela kaca ini tak
begitu cerah, jendela-jendela bertumpuk itu kompak menghias beton putih dari
bawah hingga ke pucuknya, tak satu atau dua namun puluhan bangunan tinggi
sejauh mataku melihat, tak ada bangunan kurcaci disini, hanya si jangkung yang
punya tempat sebagai pemukiman padat. Aku menerka bangunan di depan jendela
hotelku ini sudah renta dan ada beberapa disekelilingnya yang bernasib sama,
kusam dan modelnya yang sudah tua, ke arah barat justru lebih banyak bangunan
baru yang berarsitektur modern, dengan warna yang lebih cerah, diantara
bangunan menjulang itu, ada beberapa apartemen yang lebih pendek dari kamarku
sekarang. Di puncak bangunan yang semestinya kosong itu terbentang tenda berwarna
biru, ada meja kayu dan bangku bahkan ada kompor dan rak piring disebelahnya,
ternyata tak hanya di puncak bangunan itu saja, hampir di setiap bangunan yang
sudah berumur, ada bangunan lain yang jelas-jelas bangunan tambahan dan tidak
permanen. Penthouse reyot itu kadang tak berdinding, begitu kontras bila
dibandingkan dengan Griya Tawang di Jakarta yang jauh lebih mewah, jauh lebih
mahal, jauh lebih berkelas, hanya orang berada saja yang mampu memilikinya,
tapi tidak disini, tidak dengan bangunan seperti itu di tempat yang mestinya
dihuni para pejabat.
Meski
bertitel Negara “Global” dan salah satu pusat finansial dunia setelah New York
dan London, ternyata Hong Kong punya masalah yang pelik dan ironis, ribuan
pemukiman bersusun di tanah yang tertata rapih dan punya nilai yang selangit
tak mampu memberikan kehidupan yang layak kepada sebagian penduduknya, mereka
yang kurang beruntung terpaksa “membuka” lahan baru yang berbau eksklusif namun
nyatanya mereka tak punya tempat tinggal resmi atau jauh dari kata legal.
Pemerintah Hong Kong sebenarnya telah “membersihkan” tempat tinggal ilegal di
puncak-puncak gedung, namun apa daya bila penduduknya tak tahu harus mengungsi
kemana, bila tinggal di bawah sana pastinya selalu terusir oleh para penegak
hukum dan mengganggu pendapatan pariwisata mereka, satu-satunya jalan adalah ke
atas.
|
Kotak kehidupan bersusun - Bangunan
tua ini mungkin sudah menampung banyak generasi di dalamnya.
|
|
No Space - kreatifitas yang
menentukan derajat kekeringan bajumu.
|
|
Ilegal - Penthouse ilegal yang dihuni
para tuna wisma
|
|
Tua - bangunan tua dan ilegal di
pucuknya
|
|
Eastern Road - disebelah kiri adalah
Rumah Sakit gigi dan di ujung kiri adalah King George Fith Park, spot
merenung terbaik buatku.
|
|
Victoria Peak - Victoria Peak
berkejaran dengan gedung, remang tertutup kabut tipis.
|
Transportasi.
Sadar
atau tidak Hong Kong adalah negara kepulauan, namun transportasi daratnya
adalah salah satu yag terbaik di dunia, kecepatan dan ketepatan operasionalnya
jempolan, sisi informasi kepada penggunanya juga teramat baik, begitu mudahnya
para pelancong melenggang ke satu tempat ke tempat lain tanpa harus ditemani
oleh orang lokal, sebuah nilai yang sangat plus bagiku bila berkunjung ke
negara mahal tanpa bekal uang yang memadai untuk menyewa guide lokal. Ku ingat
saat mendarat di Hong Kong International Airport di pulau Lantau,
transportasi bisa langsung berganti di dalam gedung yang sama, dari udara ke
darat dengan kereta, setengah jam lebih tak kurasa sudah melewati tiga pulau
sekaligus! Pikiranku langsung menerawang kembali ke rumah, berandai-andai bila
Jawa bisa terhubung begitu cepatnya dengan Sumatera, Kalimantan atau Bali,
Kereta yang nyaman dan cepat meski tak secepat Shinkansen, sumpah serapah
keluar begitu saja tanpa kusadari, pertanyaan demi pertanyaan terlontar
berikutnya, kemana saja Indonesia? Tak bisakah belajar dari negeri mini ini?
Proyek MRT Jakarta saja baru dimulai, entah bagaimana nasib proyek monorail
yang terbengkalai, semuanya baru saja sadar akan kebutuhan transportasi masal,
sedangkan disini 90% penduduknya menggunakan transportasi umum, yang jelas
lebih murah, berbanding terbalik bila menggunakan transportasi pribadi yang
justru lebih mahal, tidak nyaman karena puluhan ribu penggunannya harus
bersilahturahmi di satu waktu di atas aspal sempit, bukankah ini yang kita
butuhkan? Sarana umum yang harusnya diutamakan sejak dahulu kala? Plus negara
kepulauan ini membuat kita tidak sadar bahwa mereka dengan sederhananya
melabrak keterbatasan lahan dengan transportasi masal yang layak, pulau-pulau
utamanya seperti tidak terbatas oleh air, warganya bebas berkeliaran, bebas
bolak-balik ke satu pulau ke pulau lainnya. Ibaratnya kita di Indonesia tak
perlu berdesakan untuk mencari lahan perumahan mahal di Jakarta, cukup membeli
kredit tanah murah di Jawa atau bahkan di Sumatera! kemudian mencari nafkah di
Ibukota dengan transportasi cepat setiap harinya.
Taman
kota.
Sudut
itu biasa saja, sedikit gelap tetapi memikat, bangku semen bulat itu tertutup
dedaunan gugur dari pohon-pohon rindang diatasnya, disampingnya ada dua tangga
yang mengarah ke tempat berbeda, tangga itu pun tak indah, justru tak menentu
mengikuti kontur tanah dan seolah menghindari tumbuhan yang tak akur tumbuhnya.
Tempat ini lebih tinggi dari jalanan dibawah sana, aspal bertulis huruf Canton
berwarna putih itu terinjak oleh orang yang berlalu lalang meski tak seberapa,
sesekali deritanya mesti bertambah saat kuda besi beroda empat itu lewat.
Dengan tenang aku menduduki bangku bulat itu, memandang ke depan, memperhatikan
hitamnya jalan, kuingat saat kulihat peta, jalan itu bernama Hospital Road,
dan memang ada rumah sakit yang cukup besar di sepanjang jalan ini. Tepat di
depanku bangunan segi empat berwarna putih dengan tulisan Prince Philip
Dental Hospital dan disebelahnya, tak seberapa jauh ku lempar pandangan,
dua daun pintu kaca yang tak megah di sampingnya tertulis Tsan Yuk Hospital.
Dua gedung medis ini punya mood yang berbeda bila dibandingkan dengan
Rumah Sakit di Indonesia, yang super-sibuk dengan lalu lalang pasien, perawat,
dokter hingga ambulan dan antrian, begitu informatifnya keadaan itu soal jumlah
orang yang berpenyakit di Indonesia, tapi disini, semuanya tenang, damai dan
santai, meski kulihat ditiap jendelanya yang tak bersekat itu, manusia berbaju
putih sedang bekerja, tetapi pintu kaca itu jarang sekali menganga.
Momen
ini begitu bersahaja, kunikmati kesendirianku saat itu, tak peduli akan apa
ataupun bagaimana, aku memanjakan mataku melihat dunia yang berbeda. Bangunan
kurus itu menjulang tinggi, seakan diatas sana ia sedang bercengkrama dengan
bangunan lain disekelilingnya sambil menyapa langit, dan berlomba untuk
menyentuh awan, tempatku saat itu terbentengi oleh pohon-pohon besar yang
rindang dan ku yakin raksasa-raksasa hijau itu telah menjadi saksi negeri ini
beberapa ratus tahun lamanya, temaram cahaya mentari sore yang telah tereduksi
oleh gumpalan awan harus beradu dengan daun dan kayu, bala tentara udara tak
kasat mata melanda dengan suhu sejuk yang menjauhkanku dari kantuk. Aku bangkit
dan mulai menjelajahi tempat rindang ini, yang ternyata berbentuk bukit kecil
dimana di puncaknya ada dua lapangan tenis, lapangan basket dan tempat bermain
anak dibangun, dan lebih menarik tak ada satu pun yang meminta bayaran masuk,
calo tiket, penjual kaki lima atau yang berhubungan dengan penarikan uang
secara tidak rela. Sekelompok anak-anak sedang asik bermain bola sepak di
lapangan hijau itu, kulangkahkan kaki melewati pintu masuk lapangan tenis
berhias tawa itu menuju ke arah tempat bermain anak-anak yang lengkap dengan
jungkat-jungkit, perosotan dan lain sebagainya. Lantai di arena bermain anak
ini berbeda meski kasar tapi begitu empuk seakan karpet raksasa bertumpuk dua
di gelar sebelum membangun arena ini, menjauhkan celaka saat anak-anak penuh
tawa itu bermain dan bercanda.
King George Fith Park
begitu yang tertulis di sebuah pelakat resmi dari pemerintah yang tanpa sadar
kutemukan saat ku langkahkan kaki meninggalkan taman rindang di tengah kota
ini. Entah berapa kali ku hentikan langkah hanya untuk ‘merasakan’ aura sebuah
‘spot’, melihat ke sekeliling, atas dan ke bawah. Hospital Road sejajar dengan
jalanan utama yaitu Queen’s Road yang dihubungkan dengan sebuah jalan
kecil bernama Eastern Road yang menurun cukup tajam. Disamping jalan ini
seakan tumbuh bangunan pemukiman yang menjulang, jarak antara gedung itu yang
berdekatan namun masih menyisakan gang, beberapa jendela terbuka dan di
tralisnya tergantung kain dan pakaian untuk dikeringkan.
 |
Rindang - Memotret mereka dari balik rimbunan pohon tua |
 |
Miring - Eastern Road yang menurun |
 |
Jalan Kaki - Mereka berjalan kaki karena fasilitasnya ada. |
 |
Sibuk - Seorang Ibu yang sedang makan dengan lahapnya di siang yang dingin, entah barang apa yang ada disekelilingnya. |
 |
Pejuang - meski hampir tak ada orang di Taman ini, sang bapak begitu berdedikasi untuk membersihkannya. |
 |
Lewat - Tak hanya 2 Rumah Sakit di Hospital Road tp fasilitas sekolah juga berjajar di jalan yang sama. |
 |
Wallpaper - gambar ini yg sekarang menghiasi Wallpaper laptopku. |
Wan Chai.
Queen’s Road saat
ini sedang sibuk-sibuknya bersiap untuk perayaan Tahun Baru Cina, toko penjual
pernak-pernik ritual ramai pengunjung, semua kantor, toko dan Pusat
Perbelanjaan dihiasi pot yang ditanami pohon jeruk mandarin mini, beberapa ada
yang memasang altar sesaji mini di samping pintu masuknya. Lambaian amplop
warna merah menghias langit-langit, menari tertiup udara, hilir mudik kaki yang
terlalu sibuk untuk berhenti, garis-garis putih yang terkadang rancu terinjak
sol sepatu atau karet hitam taksi Hong Kong, di pinggir trotoar itu kulihat
seorang wanita paruh baya sedang membakar lembaran kertas kuning di dalam
sebuah ember besi yang lidah apinya seolah ingin meloncat ke jalan penuh mobil.
Tak jauh aku berjalan, di samping kanan pintu masuk sebuah gedung, lelaki tua
renta berusaha berdamai dengan sumpitnya, berkonsentrasi penuh memasukkan nasi
ke rongga mulutnya, kardus putih mewadahi nasi yang ia pegang dengan satu
tangan, lelaki itu begitu terlena dengan dunianya tak peduli para pejalan kaki
yang hilir mudik disampingnya.
 |
Api - Ritual keagamaan? |
 |
Makan - Sang bapak yang terus berdamai dengan sumpitnya. |
 |
Meriah - Bersiap untuk Tahun Baru Cina. |
 |
Pertigaan - Antara Eastern Road & Queen's Road |
 |
Awas - turunannya cukup tajam di Eastern Road. |
 |
Jeruk Mini - Hampir disetiap bangunan ada pohon ini. |
 |
Orang Tua - Mereka ada dimana-mana, melakukan apapun yang mereka suka. |
 |
Waktu - Menyeberang di atas Zebra Cross berwarna kuning. |
Sempit.
Tanah
disini pasti mahal sekali harganya, kuterka dengan desain bangunan yang begitu
sempit ruangannya, semua dibangun dengan efektif, tanpa embel-embel kemewahan
yang tak berguna. Menunggu papan angka itu menunjukkan angka satu cukup lama,
aku dan beberapa penghuni hotel lainnya harus sabar menunggu, seketika bel
dengan satu dentingan berbunyi, pintu mengkilap berwarna emas itu terbuka,
ruangan yang bisa naik turun itu mempersilahkan kami masuk, berdesakkan. Ruang
lift ini tidak lebar namun memanjang kebelakang, begitu sempit bila manusia dan
kopernya masuk seketika, terlebih bila ada turis kaukasia dengan ransel
punggungnya berjubel di dalamnya, seperti orang dewasa yang tak punya muka
untuk bermain rumah-rumahan Barbie. Sekali lagi bel berdenting, pintu
terbuka dan pemandangan temaram gang sempit ada di depan. Ruang memanjang ini
berisi belasan pintu serupa dengan pengenal nomor di daun pintunya, saling
berhadapan dengan akrab karena kedekatannya. Ku buka pintu kamar, namun sedikit
sulit karena terhalang kasur berselimut putih yang terbentang tepat di depan
pintu, kamar ini sangat sempit, bahkan untuk ukuran kos-kosan murah di Jakarta,
meski perabotannya cukup mewah, namun kebebasan bergerak harus tersunat. Tak
heran kalau bapak dipinggir jalan yang sekarang masih sibuk dengan makanannya
atau orang-orang tua lainnya di pinggir jalan asik dengan tingkahnya sendiri,
itu karena ruang privasi mereka sudah terbatas, sudah tak ada lagi lahan untuk
pribadi semuanya mengarah kepada kepentingan bersama, satu sisi sangat indah,
sisi lainnya begitu membuat jengah.
Victoria
Peak.
Tempat
ikonik ini bagai tanda bukti kalau kamu pernah ke Hong Kong, suasana kota malam
hari yang berpadu dengan deretan pencakar langit serta kerlap kerlip lampunya
begitu indah dipandang mata. Lembahan besar yang masih rindang seakan tidak
terpengaruh kegiatan pembangunan kota dibawah sana, malahan mereka bekerjasama
menarik para turis kesini. Paduan alam dan peradaban yang indah, terlebih
ayunan gelombang di Belcher Bay dan Victoria Harbour yang jauh
dibawah sana mengantarkan alunan lagu yang dibawa oleh kencangnya angin bersama
dengan pedang Fahrenheit yang menusuk tulang. Jaket flanel abu-abu yang
kubawa dari Sydney ini masih kurang tebal menahan gempuran angin, tripod
hitam ini juga terlalu ringan saat berhadapan dengan hembusan, tetapi
pemandangan ini harus diabadikan apapun caranya, aku menahan napas cukup lama
hingga daun rana kameraku kembali ke posisinya, ku coba berkali-kali supaya
hasilnya tidak goyang, aku tak sendiri, turis lain yang mungkin berasal dari
Asia juga mencoba hal yang sama, bahkan disebelah kami dua perempuan sedang
berebutan untuk bisa tampil di layar 5 inchi telepon pintar mereka, yang saat
ini berada di ujung tongkat kurus khusus untuk memotret diri sendiri. Di
pelataran sana ada cahaya cukup terang, ternyata sebuah patung hati berwarna merah
berpendar mengalahkan gelap disekelilingnya, mereka berfoto bergantian. Suara
tawa ibu dan anak di belakangku menarik perhatian, mereka dengan gembiranya
bermain di tengah hembusan angin dingin yang kencang, dengan syal merah yang
seakan menjadi layar terkembang, menahan laju saat mereka berdua berjalan, sang
anak ini mencoba memegang syal itu, ku takut bahwa anak yang berumur sekitar 4
tahun itu terbang terbawa angin hingga daratan Tiongkok.
 |
Ikonik - Foto ikonik Hong Kong |
 |
Spot Cinta - Aku memotret orang yang sedang memotret orang-orang yang sedang memotret dirinya sendiri. |
 |
Selfie - Wajib dilakukan. |
“Mereka membangun negerinya tak asal,
mereka merawat negerinya seperti miliknya sendiri, bukan untuk menyenangkan
atasan mereka. Keindahan bukan soal alam, keindahan bukan soal tata kota,
tetapi pengalaman fungsional saat menggunakannya, saat memandanginya, saat
merasakannya. Disini indah meski tak punya hutan tropis atau gunung yang
tinggi, atau juga ombak yang bergulung, disini indah karena semua bekerjasama
secara fungsional, mengisi satu sama lain, memberikan gambaran kesempurnaan
akan kenyamanan”.