KEAGUNGAN GUNUNG AGUNG
"Kupilih sang gunung suci, karena tersurat kemurnian, tanda yang sama dengan maksud tujuanku. tak mudah mencapainya, peluh kesah lebih banyak tertumpah daripada kesenangan tersaru. Kuharap keajaiban dan keagungan-Nya menunggu ku, kuharap semua bersatu menyandang kesucian yang ku kenal, kuharap manusia pendahuluku lebih banyak mengajariku tentang alam dan simbiosis. Ternyata, bagi mereka, kemurnian dan keagungannya tak seharum namanya".
Menatap
awan dibawah, mengisi lembaran jejak kaki yang tertumpuk, mengisap aroma murni
kebebasan, semua itu nyata diatas pusara para pertapa. Nama yang Agung, jelas
menyatakan kesucian, penghormatan yang sepantasnya dilakukan untuk sang gunung.
Jalur terjal ini menguji, sekaligus provokasi untuk keberadaan nyali,
peperangan yang harus dimenangkan bukan menggelegar diluar, malah beradu dalam
kalbu, suasana yang bergejolak, bahkan meledak jauh di balik berlembar kain
basah penutup tubuh.
Waktu
kini relatif, semu, tak pasti. Tiap langkah itu bolak balik memancarkan kata
"bisa" dan "tidak". Tiap meternya menegaskan garis batas
antara keinginan dan harapan, doa berkumandang untuk pihak yang ingin
dimenangkan dalam pertarungan melawan kenyamanan. Sang angin tak lupa
mengibaskan tanda kegagahannya, mengingatkan manusia akan kuasa-Nya, pepohonan
menghibur namun mereka kini telah jauh dibawah sana, sambil bersama bersorak
ria, membekali dengan suara kecil
peneguh hati.
Batu
dan kerikil terus menghalangi telapak kaki, adhesifitas mereka tak bisa
diharapkan, terus menjadi tantangan
kecil yang selalu ada, mematahkan kekuatan besar hanya dengan bergeser.
Om
Swastiastu, salam yang terlontar bagi para penunggu, menandai kedatangan dengan
damai. Kata sederhana yang bergema di alam manusia menembus batas dunia fana.
Momen
mentari itu menyapa dunia adalah yang dicari, namun bukan sesuatu yang
dipaksakan, gerakan kami menembus malam hanya untuk menemani sang puncak
menatap merahnya lidah api matahari pagi. Tetapi keinginan kami mendapati
puncak saat pagi, lebih rendah daripada merekam momen berharga tarian langit
malam beserta cahaya yang menghentak tak bersama. Dadaku terasa berat, virus
yang mendekam semenjak keberangkatan membuat produksi lendir di organ
pernafasanku lebih banyak, membuat sang udara sukar menggapai paruku, kedua
lubang hidung tertutup rapat oleh cairan lengket, oksigen yang dibutuhkan
sangat sedikit masuk teresap kedalam tubuh, seketika gerakan ini melambat.
4-5
jam yang mestinya ditempuh para pendaki, tak berlaku bagi kami, justru tambahan
3 jam yang kami dapat karena gerakan yang terhambat. Dalam gerak kami menunggu,
menunggu dan berharap, satu langkah di depan adalah langkah terakhir mencapai
sang puncak, namun harapan itu masih semu, bebatuan besar menatap iba sekaligus
congkak, kami harus meraba tubuh besar mereka yang tak goyah kala badan kami
menghantamnya.
Keagungan
gunung ini bukan hanya milik Bali, tapi milik ribuan orang datang dari negeri
sebrang, negeri yang bahkan jarang kau dengar sebelumnya, catatan pendakian
para pendaki seberang itu tersimpan rapih di sebuah buku besar dalam sebuah
pondok sederhana sebelum pintu masuk gunung ini. Chekoslovakia, New Caledonia,
Taiwan dan puluhan negara lain, pendaki mereka membubuhkan tanda tangan di buku
kumal itu, cukup membuat pendaki domestik seperti aku terperangah karena magnet
gunung ini yang luarbiasa, menyebar hingga ke pelosok dunia.
Sayang
seribu sayang, gunung paling suci di seluruh Bali ini seketika tak punya nyali
menghadapi ulah iseng para pendaki, bebatuan besar dan kecil yang menandakan
puncak sudah dekat, harus berhias coretan putih cat kaleng, tulisan penanda
keberadaan sang penulis tercoret di alam suci Bali, nama dan tanggal terbaca
jelas, membuat pemandangan ini menjadi sampah belaka. Marah dan kesal oleh ulah
tak berbudi, namun apa yang dapat dilakukan? Tak malu kah mereka dengan para
pendaki negeri sebrang? Tak malu kah mereka dengan Sang Hyang Widi Wasa?
Kawah
itu menganga tanpa suara, batu besar di samping menutupi sebuah Pura kecil yang
di depannya berserak banyak sekali sesaji yang mengering, sehelai kain
kotak-kotak pun telah robek tertiup angin dan tergesek tajamnya bebatuan,
pemandangan itu harus kulihat lagi, coretan putih bertulis nama di beberapa
bagian batu besar itu. Lautan awan dibawah semakiin menebal, angin tak konsisten
berhembus, namun suhu cukup membuat jaket ini bekerja lebih keras menahan panas
tubuhku supaya tak lenyap di udara sekitar.
Hilang sudah memori berlebih tentang gunung suci, kecewa tapi tak apa. Sang Gunung pun mengerti, bahwa ia tak bisa berbuat banyak, hanya menatap penuh iba kepada para pengunjung yang tak berdaya, yang begitu menyesali perbuatan sesamanya kepada sang gunung suci.
Perjuangan
mendaki telah berakhir, semua pemandangan ku lahap dengan bola mataku yang lapar
dan haus akan keindahan alam. Tak ada ekspresi khusus yang keluar, hanya decak
kagum menatap indahnya kuasa sang Maha.