KATHMANDU: Bersiap menghadap Himalaya

Petualangan ini akan mengambil rute pendakian dari Lukla menuju basecamp Everest dan juga penaklukkan puncak Lobuche Timur, tapi semua harus bermula di gerbang Himalaya, sebuah kota yg sebenarnya indah, namun terlalu sederhana sebagai ibukota, terlalu sumpek untuk berwisata, disini, di Kathmandu. Klakson berbunyi di kiri kanan minibus yg menjemput kami dari Bandara Internasional Svarnabumi, beberapa saat lalu kami melewati gerbang yg bertuliskan Welcome, berharap ada tarian penyambutan tetapi yg kami dengar adalah konser berisik para supir yg berebutan jalur di jalanan yg tak begitu lebar, iklan minuman bersoda berwarna merah mencolok mata karena besarnya hampir menutupi gedung di belakangnya, bangunan bertingkat tak beraturan memenuhi pemandangan di pinggiran jalan utama. Mobil mobil mini hilir mudik tak karuan bercampur dgn pedagang kaki lima di pinggir jalan, para pejalan kaki, pesepeda hingga sapi.
Jalanan di depan kami menjadi semakin sempit, hanya cukup untuk satu mobil berebut jalur dgn pejalan kaki, semakin ku perhatikan, semakin banyak penjaja kaki lima yg mengiba supaya turis membeli dagangannya. Berbagai etnis ku lihat berbaur dikeramaian, Berbagai pakaian dikenakan, dari pakaian sari, jas berpadu dgn celana jins, atau kaus oblong bertulis 'Kathmandu' atau `om`, atau pakaian outdoor yg gagah dipakai oleh para pendaki atau mungkin "bergaya pendaki". Kuingat plang nama jalan jalan yg kami lewati tadi, bertulis Thamel, jadi inilah Thamel Market yg terkenal itu, tempat para backpackers meluruskan punggungnya di tempat tidur sederhana, tempat para pendaki gunung mencari peralatan untuk ekspedisi mereka.
Ku rebahkan kaki di atas kasur yg cukup empuk, setelah ku susun semua peralatanku yg banyak di bawah tempat tidur, ku buka jendela kaca hingga 180 derajat, bangunan hotel kami yg berbentuk 'n' menghadap ke pertigaan di ujung Thamel Market, dari lantai tiga ini terlihat kesumpekan yg kami hadapi saat pertama kami tiba. TV mengeluarkan suara - suara yg tak ku kenal, seorang perempuan menggunakan busana India, tetapi bahasanya sedikit berbeda, ku pindahkan saluran TV tetapi pemandangan yg pernah ku lihat sebalumnya di kampung halaman pada kotak bersuara itu, seorang lelaki berbadan tegap dan berotot menari bersama kawan kawannya di balik sebuah pohon kecil yg terlalu kurus untuk menyembunyikan bahkan hanya lengannya saja.
Udara tak begitu dingin juga tak begitu panas, kira kira seperti Bandung pada siang hari. Guide kami, Ang Dawa Sherpa, mengingatkan bahwa sebentar lagi ada peralihan musim ke musim Moonsoon yg membawa hujan terus menerus sepanjang minggu. Tak perlu khawatir karena kami akan menyelesaikan ekspedisi tepat sebelum musim itu tiba. Semoga.
Ku angkat sarung tangan tebal itu, AngDawa mengangguk, ia bilang itu cukup untuk melawan dingin, ku keluarkan lagi sarung tangan lain yg lebih tipis, Ang Dawa kembali mengangguk, sarung itu bisa dikenakan sebelum sarung tangan yg lebih tebal, second skin. Kami mengecek semua peralatan pendakian dan memisahkan yg tidak perlu kami bawa untuk mengefektifkan pendakian, Ang Dawa yg bertanggung jawab akan semua peralatan yg kami bawa, dia adalah seorang Sherpa pendaki berbadan tinggi, sekitar 175 cm, setinggiku dan punya badan yg menunjukkan bahwa ia seorang pendaki mahir.
