Bulan Suci di Puncak Fuji (Pendakian Off Season Fuji)
”Untuk mendaki
sebagaimana mestinya di puncak-puncak tertinggi, seseorang harus membebaskan
dirinya dari rasa takut. Ini artinya kau harus merelakan dirimu sebelum
pendakian besar apa pun. Kau harus berkata pada dirimu, “Aku mungkin mati di
sini”.”
-Doug Scott-
Gunung Fuji, gunung tertinggi di jepang ini
sebenarnya sudah saya incar sejak 2016 lalu, saat pertama kalinya saya
berkunjung ke negeri sakura. Dulu saya menganggap gunung ini hanyalah gunung
hiking belaka tanpa tantangan yang nyata, tetapi kemudian saya salah besar!
Gunung Fuji adalah gunung paling populer di
Jepang, tetapi itu terjadi saat musim pendakian saja, yaitu bulan Juli hingga
September, diluar waktu itu dinamakan Off Season atau dengan kata lain gunung
Fuji DITUTUP.
Setelah riset sana-sini, pendakian Off
Season Fuji sebenarnya tetap bisa dilakukan, tetapi dengan syarat yang tidak
gampang dan butuh banyak waktu untuk mewujudkannya; Pendaki yang boleh mendaki
gunung Fuji pada Off Season adalah pendaki yang berpengalaman. Pengalaman dalam
hal apa? Mendaki gunung tentunya, tetapi mengingat pada Off Season , gunung ini
punya cuaca yang berbahaya, juga pendakian juga masuk dalam kategori pendakian
gunung es atau bersalju. Pengalaman di gunung es sebelumnya yang bisa
mengkonfirmasi seorang pendaki layak atau tidak mendaki gunung ini.
https://www.japantimes.co.jp/news/2016/11/21/national/fall-fuji-trail-claims-hiroshima-climber-18-partner-64-missing/#.Wx6xvPZuKFk
Di beberapa forum saya menemukan percakapan
yang melarang pendakian di gunung Fuji, dalam forum itu pun banyak yang
memberikan data tentang kematian karena kecelakaan mendaki pada saat Off
Season. Bahkan tahun lalu, seorang berkebangsaan Swiss tewas pada saat
pendakian gunung ini. Orang Swiss! Mereka orang gunung sejati, lahir dan besar
di pegunungan, harus tewas di gunung hiking ini?
Membaca banyaknya yang melarang mendaki
gunung ini pada Off Season, membuat saya lebih hormat dan mulai memperbanyak
riset saya untuk mendaki kesana, tetapi tidak membuat saya mundur sejengkal pun
untuk mendakinya, kali ini dengan tantangan yang besar: Mendaki Fuji Off Season.
Kenapa dimakan Off Season?, ini alasannya:
- 1. Cuaca yang tidak menentu dan cenderung lebih ekstrim
- 2. Jalur yang tertutup oleh salju dan minim marker, karena para pengurus gunung tidak operasional.
- 3. Dukungan darurat tidak ada, artinya tidak ada tenaga medis di jalur atau 5th station.
- 4. Tidak ada shelter yang buka
- 5. Transportasi yang sangat minim, bahkan amat sangat tricky untuk disiasati.
- 6. Tidak ada makanan, minuman atau perbekalan yang bisa dibeli di titik awal, karena semua toko tutup dan hanya buka saat weekend saja.
- 7. Sangat sedikit pendaki yang ada, sehingga hal darurat sekecil apapun harus bisa ditangani sendiri.
Masih belum cukup otak untuk mencerna berbagai kemungkinan risiko pendakian, kenyataan harus ditelan bulat-bulat bahwa pendakian kali ini akan dilakukan pada bulan suci Ramadhan. Puasa sebenarnya tak menjadi masalah, namun kami belum mencoba kekuatan tubuh yang harus menahan keganasan gunung plus beribadah dalam satu waktu, dua hal itu membutuhkan bukan hanya tubuh yang sehat tetapi mental semulus dan sekeras baja anti karat.
Pada Season pendakian Fuji, kita cukup
menggunakan bis dari Tokyo yang akan berhenti di titik awal pendakian, kemudain
belanja perbekalan di 5th station lalu lanjut mendaki. Shelter di
gunung, bisa dibooking awal untuk menginap, keesokan subuhnya kita bisa
menikmati sunrise dari puncak Fuji,
dan kembali lagi ke Tokyo dengan bis yang ada. Pendakian pada waktu ini umumnya
tidak harus menggunakan peralatan pendakian es, resiko bahaya juga lebih
sedikit karena tim rescue yang standby untuk menolong kapan pun. Pada
pendakian Off Season tidak bisa senikmat itu.
Jalur
Pilihan
Ada 4 jalur yang biasanya digunakan untuk
mendaki Fuji, tetapi hanya 2 yang bisa digunakan pada Off Season dan hanya satu
saja yang menjadi rekomendasi untuk mendakinya diluar musim. Fujinomiya 5th
Station adalah incaran saya, selain terletak di bagian Selatan Fuji, jalur ini
mendapat sinar matahari lebih panjang daripada jalur lainnya, sehingga es dan
salju diharapkan lebih sedikit karena suhu lebih hangat.
Namun dengan mundurnya hari operasi yang
jatuh pada hari biasa bukan hari libur, otomatis bus menuju Fujinomiya 5th
Station pun tidak beroperasi sama sekali. Sehingga jalur Fujinomiya yang berada
di Selatan, harus kami ganti dengan mendaki jalur Fujiyoshida yang berada di
Utara. Nah, jalur Fujiyoshida bermula dari kota Kawaguchiko, yang sangat
populer sebagai daerah wisata sepanjang tahun, sehingga bus menuju 5th
Station pun selalu ada, meskipun dengan jam operasional yang terbatas pada Off
Season.
Jalur transportasi menuju Fujiyoshida /
Fuji Subaru Line:
- 1.
Shinjuku – Ome – Kawaguchiko
(menggunakan kereta api yang sambung menyambung antar stasiun)
- 2.
Kawaguchiko – Fujiyoshida 5th
Station (menggunakan bis sekitar 2000 yen atau taksi yang berkisar 11000 yen)
Ketakutan saya terjadi juga, kami
tertinggal bus terakhir menuju 5th Station. Pilihan satu-satunya
adalah menggunakan taksi yang mahal. 11 ribu Yen atau bila dirupiahkan sekitar
1,5 juta rupiah untuk bisa sampai ke 5th Station, mahal memang,
tetapi uang sebanyak itu cukup murah dibandingkan kehilangan waktu yang lebih
berharga.
Hari mulai berganti malam, beberapa pendaki
lokal dengan pakaian pendakian dan peralatan lengkap baru saja turun, sambil
menyapa. Suasana di 5th Station sangat lengang, karena tak satu toko
pun yang buka, bahkan parkiran mobil pun hanya menyisakan garis pembatas dan bercak hitam karet ban. Bahkan vending machine yang kami harapkan menuntaskan dahaga saat
berbuka puasa, tak menyala.
Tinggal kami berdua, Saya dan Rizal yang
tersisa. Kami harus membiasakan diri dengan ketinggian ini (2700 mdpl) dengan
beristirahat disini, tetapi hanya toilet, satu-satunya bangunan yang masih
berfungsi sekaligus melindungi dari angin yang menusuk nyeri. Jam 12 tengah
malam, setelah cukup tidur sejenak dan ngemil seadanya, kami berangkat mendaki.
Saya berniat melakukan pendakian ini bukan tanpa konsekuensi, terutama masalah dana. Tetapi Fuji bisa sangat berbahaya dan saya menyadari betul hal itu. Skenario untuk meninggalkan pendakian karena cuaca buruk sudah saya bayangkan dan yang paling parah adalah menjadi headline pada berita lokal Jepang karena kematian. Semoga tidak.
Pada stasiun 6 kami berhenti karena jam
mulai mendekati pukul 2 pagi, kami harus sahur untuk bersiap puasa yang akan
dimulai jam 3 pagi ini, yap, subuh di Jepang sangat cepat namun sayangnya waktu
berbuka justru mundur lebih dari satu jam daripada di tanah air. Bila dihitung
waktu total berpuasa dalam satu hari mencapai 16 jam, dan kami masih harus
mendaki.
Badan semakin lemas, kaki kami semakin lambat mendaki. Medan berpasir sudah berubah menjadi putih salju dan es. Satu demi satu pendaki yang mendahului kami, semakin jauh jaraknya. Saya justru khawatir soal bus untuk pulang nanti yang jadwalnya hanya sampai jam setengah 6 sore saja.
Tinggal kami berdua saja. Sah! Kamilah
pendaki terakhir yang berada dipuncak. Lega, letih, sekaligus bangga bahwa
setidaknya rekor kami sebagai orang tertinggi di Jepang tidak akan terpatahkan
sampai keesokan harinya oleh pendaki lain. Saya berdiri tegak dengan baju batik
kebanggaan yang telah menemani saya melalui puncak-puncak di Himalaya dan
puncak tertinggi Indonesia, dengan memegang bendera merah putih di kedua
tangan, yang berusaha sekuatnya untuk membuatnya berkibar diterjang angin
kencang yang salah arah.
Butuh sekitar 18 jam lebih waktu
operasional buat kami untuk mendaki naik dan turun gunung Fuji, meskipun tubuh
kami semakin lama semakin lemah untuk mendaki tetapi tekad kami sudah bulat
untuk berdiri di puncaknya. Satu puncak lagi yang telah terjelajahi pada bulan
suci, dan semoga ini menjadi cerita hebat untuk dikenang lagi nanti.
Catatan
pribadi: Pikirkan
beberapakali, apakah dirimu cukup berpengalaman untuk mendaki gunung ini diluar
musim pendakian, bila jawabannya: “ya”. Pikirkan ulang lalu ulangi lagi. Lalu
tanyakan pada dirimu, “siapkah untuk menanggung yang terburuk?”.
Vlog 1
Vlog 1
Vlog 2