Habis Air di Pulau Tak Berpenghuni: Nusa Barung
Masih ingat atau pernah dengar ‘RUMUS 3’
dalam pelajaran survival? Yap, itu rumus yang menyatakan bahwa:
- Manusia tidak bisa hidup tanpa udara selama 3 menit
- Manusia tidak bisa hidup tanpa air selama 3 hari
- Manusia tidak bisa hidup tanpa makan selama 3 minggu
Memang rumus itu hanyalah reverensi untuk
kita bisa menjaga kebutuhan pokok yang menyokong hidup kita seketika (Udara,
Air, Makanan) tetapi ingat bahwa rumus itu hanyalah patokan umum, karena ada
juga para jago Free Dive yang bisa bertahan tanpa udara selama puluhan menit!
Atau para Yogi di India yang mengaku tidak pernah makan dan minum seumur hidup
mereka!
Pembahasan kita kali ini mengenai air.
Pernahkah kalian merasa setetes air di alam
terbuka itu begitu berharga? Jika belum berarti kamu belum pernah berlatih
survival, atau berada dalam keadaan survival yang terkontrol maupun tidak.
Ekspedisi Nusa Barung, Pulau Terdepan Jawa TImur.
Alkisah, pada tahun 2007. Kami melakukan
ekspedisi eksplorasi pulau terpencil tanpa penghuni di bagian paling selatan
propinsi Jawa Timur, namanya Pulau Nusa Barung. Kami terbagi menjadi 3 tim yang
masing-masing mengekporasi, mendata dan membuka jalur pemantauan untuk BKSDA di
bagian barat, timur dan utara-selatan.
Kami sangat mengetahui bahwa ekspedisi ini
akan berat, secara teori dan harafiah, karena permasalahan yang cukup
menghantui adalah tidak ada sumber air dalam jalur kami! Untuk itu kami harus
membawa air persediaan untuk kebutuhan kami selama 2 minggu dalam carrier.
Sebentar dulu, kalian tahu ga kebutuhan air untuk 6 orang selama 2 minggu? Gampangnya
kami harus membawa 3 jerigen air berwarna biru, masing-masing bisa menampung 25
liter air, yang kemudian kami masukan ke dalam ransel. Bagaimana dengan
peralatan pribadi, peralatan tim dan lainnya? Yap, setiap orang punya jatah 2
ransel untuk dibawa, ukuran 90 liter! Gimana caranya?? Kami membagi tiap tim
menjadi 2 regu: RPJ (Regu Pembuka Jalur) dan RPL (Regu Pembawa Logistik) yang
diroling setiap 2 hari sekali.
Mencari air di kubangan
Kami tahu bahwa bila hujan turun
kubangan-kubangan di atas tanah bakal terisi dan menjadi kesempatan kami untuk
bisa mendapatkan air, tetapi kubangan itu tidak bisa menampung air lama-lama,
karena struktur dasar pulau ini adalah karst yang belrubang-lubang, sehingga
air akan terserap cepat kedalam tanah, belum lagi kalau harus rebutan air
dengan babi hutan, kijang dan binatang lain. Maka setiap hujan turun atau
mendapatkan kubangan air, kami selalu menyimpannya dalam plastik besar,
dijernihkan terlebih dahulu kemudian kami kubur supaya tidak ada yang bisa
merusak plastiknya; dengan kata lain kami melakukan sistem Tanam Logistik.
Suatu hari di minggu kedua, persediaan air
kami hanya tinggal satu botol aqua 600 ml. tak ada hujan selama beberapa hari,
kubangan-kubangan telah kosong. Air yang tersisa kami masukan kedalam tempat
air yang bening, sehingga kami bisa selalu mengontrol isinya yang hanya tinggal
setengah liter untuk berlima!
Bayangkan, kalian berada dalam pulau
terpencil, panas menyengat dan lembab meskipun vegetasi begitu rimbun, tangan
tak terbayang lukanya karena menembus vegetasi tanpa jalur, pundak yang hampir
mati rasa karena membawa 2 ransel, masing-masing 30 kg diatas karst-karst tajam
tanpa ampun. Haus? Bukan Kepalang! Kami menjatah air, masing-masing mendapatkan
1 tutup botol saja, tidak lebih!
Air Habis
Malamnya sebelum tidur, saya bertugas untuk
membuat kopi yang harus kami relakan menggunakan air persediaan kami itu,
semuanya untuk kebutuhan kalori, pemulihan dan yang terpenting adalah mental.
Kopi setengah gelas itu pun sudah jadi, sambil ku aduk sampai benar-benar rata,
saya berpikir apakah ada sesuatu yang bisa membuat kopi terakhir ini lebih
nikmat?
Pandangan samar-samar karena gelap malam
bertarung dengan lebatnya api unggun di sebelahku, membuat kotak obat bening di
depanku itu menunjukkan sebuah botol. Kotak obat itu semakin lama-semakin dekat
dan tak sadar tanganku telah menggenggam sebuah botol, dan yang bikin saya
terkejut-senang adalah isinya. Cairan!
Masih ku ingat botol plastik itu ku buka
dengan semangat, karena mungkin inilah yang bisa membuat kami berangsur pulih
untuk kembali berjalan esok hari. Yap, kutuang isinya kedalam kopi terakhir
itu. Ku serahkan kopi itu yang kemudian berputar setelah lima mulut itu
menyisip pelan, agar tidak berlebihan meminumnya.
Kami tertawa! Tertawa begitu keras. Inilah
yang kami butuhkan. Keceriaan untuk mental kami yang paling berharga dari pada
sekadar lecet, benjol, gatal, pegal, sobek atau penyakit fisik lainnya. Mereka
adalah saudaraku yang sekarang ini bersamaku untuk hidup ataupun mati. Saat itu
kami benar-benar merasakan nikmatnya air yang beraroma kopi dengan sedikit
bahan yang cukup membuat kami tergelak.
Waktunya kami kembali tidur, jarak kami
dengan base camp tinggal 1 hari lagi! Tapi siapa yang peduli? Malam ini kami
benar-benar merasakan nikmatnya ekspedisi ini, bercengkrama satu sama lain
tanpa peduli keadaan air kami, setelah menyisip Irish Coffee (campuran alkohol
dan Kopi).
Inti dari cerita ini bukanlah Irish Coffee,
tetapi bagaimana kami menghadapi krisis air saat ekspedisi, meskipun latihan
kami begitu berat secara teknikal dan fisik tetap saja keadaan suvival seperti
itu terjadi. Syukurlah kami pernah merasakan hal yang sama (survival) dalam
Pendidikan Dasar karena menjadi acuan bagaimana mental kami menghadapi situasi
seperti itu, dan berhasil.