Melamun Tentang Indonesia di Hong Kong
Tulisan tahun 2015,
Bukan celaan, justru
renungan, perjalanan ke beda negeri bukan menjadikan ku berbangga diri punya
negeri yang "indah" pemberian Tuhan, sedangkan para
"penyewa" nya malah ambil untung dan tidak membayar apapun kepada
sang Alam. Melihat Hong Kong, yang hanya secuil itu, negeri yang punya dualisme
pemerintahan itu, dengan kemakmuran, juga keindahan nyata dari para
penduduknya, dari para penjaganya membawa rasa yang berbeda saat berada disini,
karena meski mereka tidak punya tanah seindah Zamrud Khatulistiwa, tanpa pantai
seindah Derawan, tanpa gunung seindah Rinjani, tapi justru makna keindahan itu
datang karena usaha para penduduknya, pemerintah dan dinas yang bertanggungjawab
akan kehidupan kepualauan itu, membuat lahan terbatas itu, pemandangan seadanya
itu punya magnet besar, punya daya tarik dalam pengalaman "merasakan"
sentuhan kehidupan modern dan alami.
Transportasi.
Sadar atau tidak Hong
Kong adalah negara kepulauan, namun transportasi daratnya adalah salah satu yag
terbaik di dunia, kecepatan dan ketepatan operasionalnya jempolan, sisi
informasi kepada penggunanya juga teramat baik, begitu mudahnya para pelancong
melenggang ke satu tempat ke tempat lain tanpa harus ditemani oleh orang lokal,
sebuah nilai yang sangat plus bagiku bila berkunjung ke negara mahal tanpa
bekal uang yang memadai untuk menyewa guide lokal.
Ku ingat saat mendarat
di Hong Kong International Airport di pulau Lantau, transportasi bisa langsung
berganti di dalam gedung yang sama, dari udara ke darat dengan kereta, setengah
jam lebih tak kurasa sudah melewati tiga pulau sekaligus!
Pikiranku langsung
menerawang kembali ke rumah, berandai-andai bila Jawa bisa terhubung begitu
cepatnya dengan Sumatera, Kalimantan atau Bali, Kereta yang nyaman dan cepat
meski tak secepat Shinkansen, sumpah serapah keluar begitu saja tanpa kusadari,
pertanyaan demi pertanyaan terlontar berikutnya, kemana saja Indonesia? Tak
bisakah belajar dari negeri mini ini? Proyek MRT Jakarta saja baru dimulai,
entah bagaimana nasib proyek monorail yang terbengkalai, semuanya baru saja
sadar akan kebutuhan transportasi masal, sedangkan disini 90% penduduknya
menggunakan transportasi umum, yang jelas lebih murah, berbanding terbalik bila
menggunakan transportasi pribadi yang justru lebih mahal, tidak nyaman karena
puluhan ribu penggunannya harus bersilahturahmi di satu waktu di atas aspal
sempit, bukankah ini yang kita butuhkan? Sarana umum yang harusnya diutamakan
sejak dahulu kala?
Plus negara kepulauan ini membuat kita tidak sadar bahwa
mereka dengan sederhananya melabrak keterbatasan lahan dengan transportasi
masal yang layak, pulau-pulau utamanya seperti tidak terbatas oleh air,
warganya bebas berkeliaran, bebas bolak-balik ke satu pulau ke pulau lainnya.
Ibaratnya kita di Indonesia tak perlu berdesakan untuk mencari lahan perumahan
mahal di Jakarta, cukup membeli kredit tanah murah di Jawa atau bahkan di
Sumatera! kemudian mencari nafkah di Ibukota dengan transportasi cepat setiap harinya.
Taman kota.
Sudut itu biasa saja,
sedikit gelap tetapi memikat, bangku semen bulat itu tertutup dedaunan gugur
dari pohon-pohon rindang diatasnya, disampingnya ada dua tangga yang mengarah
ke tempat berbeda, tangga itu pun tak indah, justru tak menentu mengikuti
kontur tanah dan seolah menghindari tumbuhan yang tak akur tumbuhnya.
Tempat
ini lebih tinggi dari jalanan dibawah sana, aspal bertulis huruf Canton
berwarna putih itu terinjak oleh orang yang berlalu lalang meski tak seberapa,
sesekali deritanya mesti bertambah saat kuda besi beroda empat itu lewat.
Dengan tenang aku menduduki bangku bulat itu, memandang ke depan, memperhatikan
hitamnya jalan, kuingat saat kulihat peta, jalan itu bernama Hospital Road, dan
memang ada rumah sakit yang cukup besar di sepanjang jalan ini.
Tepat di depanku
bangunan segi empat berwarna putih dengan tulisan Prince Philip Dental Hospital
dan disebelahnya, tak seberapa jauh ku lempar pandangan, dua daun pintu kaca
yang tak megah di sampingnya tertulis Tsan Yuk Hospital.
Dua gedung medis ini
punya mood yang berbeda bila dibandingkan dengan Rumah Sakit di Indonesia, yang
super-sibuk dengan lalu lalang pasien, perawat, dokter hingga ambulan dan
antrian, begitu informatifnya keadaan itu soal jumlah orang yang berpenyakit di
Indonesia, tapi disini, semuanya tenang, damai dan santai, meski kulihat ditiap
jendelanya yang tak bersekat itu, manusia berbaju putih sedang bekerja, tetapi
pintu kaca itu jarang sekali menganga.
Momen ini begitu
bersahaja, kunikmati kesendirianku saat itu, tak peduli akan apa ataupun
bagaimana, aku memanjakan mataku melihat dunia yang berbeda.
Bangunan kurus itu
menjulang tinggi, seakan diatas sana ia sedang bercengkrama dengan bangunan
lain disekelilingnya sambil menyapa langit, dan berlomba untuk menyentuh awan,
tempatku saat itu terbentengi oleh pohon-pohon besar yang rindang dan ku yakin
raksasa-raksasa hijau itu telah menjadi saksi negeri ini beberapa ratus tahun
lamanya, temaram cahaya mentari sore yang telah tereduksi oleh gumpalan awan
harus beradu dengan daun dan kayu, bala tentara udara tak kasat mata melanda
dengan suhu sejuk yang menjauhkanku dari kantuk.
Aku bangkit dan mulai
menjelajahi tempat rindang ini, yang ternyata berbentuk bukit kecil dimana di
puncaknya ada dua lapangan tenis, lapangan basket dan tempat bermain anak
dibangun, dan lebih menarik tak ada satu pun yang meminta bayaran masuk, calo
tiket, penjual kaki lima atau yang berhubungan dengan penarikan uang secara
tidak rela.
Sekelompok anak-anak sedang asik bermain bola sepak di lapangan
hijau itu, kulangkahkan kaki melewati pintu masuk lapangan tenis berhias tawa
itu menuju ke arah tempat bermain anak-anak yang lengkap dengan
jungkat-jungkit, perosotan dan lain sebagainya. Lantai di arena bermain anak
ini berbeda meski kasar tapi begitu empuk seakan karpet raksasa bertumpuk dua
di gelar sebelum membangun arena ini, menjauhkan celaka saat anak-anak penuh
tawa itu bermain dan bercanda.
King George Fith Park
begitu yang tertulis di sebuah pelakat resmi dari pemerintah yang tanpa sadar
kutemukan saat ku langkahkan kaki meninggalkan taman rindang di tengah kota
ini. Entah berapa kali ku hentikan langkah hanya untuk ‘merasakan’ aura sebuah
‘spot’, melihat ke sekeliling, atas dan ke bawah.
Hospital Road sejajar dengan
jalanan utama yaitu Queen’s Road yang dihubungkan dengan sebuah jalan kecil
bernama Eastern Road yang menurun cukup tajam. Disamping jalan ini seakan
tumbuh bangunan pemukiman yang menjulang, jarak antara gedung itu yang
berdekatan namun masih menyisakan gang, beberapa jendela terbuka dan di
tralisnya tergantung kain dan pakaian untuk dikeringkan.