6 Langkah Sukses Mendaki Himalaya
Mau ke
Himalaya tapi bukan pendaki serius? Bisa... asal,
1. Prepare Fisik. Semua kegiatan alam terbuka menuntut para
pelakunya punya badan yang fit. Ga harus punya otot besar seperti Dedi
Corbuzier, tapi... minimal punya kesehatan yang cukup untuk menghadapi tekanan
alam.
How to:
Level 1: Joging atau aerobik punya manfaat
untuk kardiovaskular bikin kamu ga cepat merasa lelah dan cepat recovery kalau
lagi capek.
Level 2: Naik turun tangga kelihatannya
simpel, tapi justru latihan fisik ini mendekati kegiatan fisik yang akan kamu
lakukan nantinya, ingat yah, Himalaya adalah dataran tinggi dan perjalan kesana
didominasi ke arah ATAS.
Level 3: Latihan nafas. Emang siapa yang ga
bisa nafas? Jangan salah, berlatih nafas itu membuat aktivitas yang akan kamu
lakukan ribuan kali sehari itu menjadi lebih efektif, berimbang antara energi yang kamu habiskan
untuk bernafas dan bergerak dengan hasil pergerakan. Caranya: bisa ikutan yoga
atau ikutan free diving atau sekalian, Merpati Putih.
2. Prepare Uang. Inilah masalah klasik yang selalu menghantui
setiap ekspedisi hingga awal tahun 2000-an, karena sekarang sudah banyak
aplikasi atau perusahaan yang bisa memberikan kredit untuk kita membeli tiket
pesawat & hotel. Semakin jauh hari kita prepare, semakin bagus karena kita
punya banyak waktu untuk memikirkan strategi untuk mendapatkan uang atau tiket
yang kita inginkan.
Pilih perusahaan travel yang bagus, bagus belum tentu murah karena kita
memakai jasa orang lain yang tentunya bukan volunteer. Kalau kamu maunya semua
tersedia tanpa harus usaha, persiapkan bujet yang lebih karena yang akan
menyediakan kebutuhan hidupmu adalah orang lain.
How to:
Level 1: Kerja. Tidak ada hal lain yang bisa
mendatangkan uang selain kerja. Jika kamu punya pohon uang atau dapat warisan,
berarti kamu sedang beruntung, puncak-puncak Himalaya sedang tersenyum untukmu.
Level 2: Menabung. Menyisihkan uang dari berbagai
kegiatan yang memerlukan uang dalam hidup harus punya keahlian khusus, yang
bernama: sabar. Rajinlah elus dada dan beli ikat pinggang yang punya banyak
lubang.
Level 3: Sponsor. Buat kalian yang masih punya
sponsor utama dalam hidup, bisa memanfaatkan itu, tapi harus realistis, kasihan
orang tua kalau malahan kamu yang udah bangkotan merengek minta tiket ke
Everest Base Camp.
Oke, serius.. Kalau kamu punya karya yang bisa
bikin orang tertarik untuk berkolaborasi atau saling menguntungkan itu adalah
kuncinya. Mencari sponsor bukan seperti mengemis untuk mendapatkan apa yang
kita mau, tapi lebih membuka peluang untuk azas manfaat (untuk kebaikan). Kalau
kamu seorang penulis misalnya, kamu bisa memakai keahlian kamu untuk membuat
bahan tulisan yang bisa membuat sponsor memakai itu, tetapi tulisan itu harus
berkaitan dengan Himalaya atau kegiatan kepemudaan atau kisah cinta beda spesies
(kamu dan sapi) halah...
3. Be Social. Kalau kamu bukan pendaki serius, ketahuilah
pengetahuan (tentang) alam itu sangat buanyak dan beragam. Jadi, yang bisa
menolong kamu disaat kesusahan adalah pendaki lainnya atau porter atau guide
atau orang yang ada di dekatmu. Tapi kalau kamu bersikap yang kurang enak
sampai orang pun enggan untuk dekat denganmu sebentar saja, kayaknya kamu mesti
cek ke psikiater deh.
Kita ‘bermain’ di alam terbuka dan sadar atau tidak manusia termasuk
dalam bagiannya.
How to:
Level 1: Belajar
bahasa, minimal
bahasa pergaulan dunia, yaitu bahasa tubuh. Ini serius. Bila dua pihak bertemu
dengan bahasa ibu yang berbeda, pasti mereka melakukan komunikasi pertama kali
dengan bahasa tubuh sebelum menggunakan bahasa Inggris, dan bila bahasa tubuh
digunakan keterusan, berarti salah satu pihak dapat nilai jelek waktu di
sekolah dulu, jadi bahasa tubuh itu penting.
Lalu belajarlah untuk bisa melafalkan
tempat-tempat penting dalam bahasa Inggris, misalkan toilet, kamar tidur, ruang
makan, kamar mandi. Lalu arah: lurus, belok, kanan, kiri, dst.
Level 2: Punya
keahlian menghibur atau berguna bagi orang lain. Misalkan: kamu menghafalkan lirik lagu Adelle
tapi semua katanya dibalik, nah keluarkan keahlian kamu pada saat
kumpul-kumpul, tunggu sejenak, kalau banyak kata-kata pujian dilemparkan
kepadamu berarti kamu sukses, beda cerita kalau tomat busuk, berarti siap-siap
mandi wajib.
Level 3: Respect. Ga ada yang lebih kuat untuk
‘menyentuh’ orang lain yang berpotensi sebagai juru selamatmu di pegunungan
Himalaya dengan menunjukkan respect.
4. Adaptif. Mohon maaf, bila kalian tidak bisa menyesuaikan diri dengan keadaan
alam dan lingkungannya, silahkan urungkan niat menjelajah ke manapun termasuk
Himalaya. Kawan, Himalaya menjadi ‘Mekkah’ nya para pendaki gunung bukan tanpa
alasan, disini tempat reuninya puncak-puncak tertinggi di muka bumi, alamnya
bakalan sangat berbeda dibandingkan pojokan kamarmu yang penuh lendir itu.
Dingin? Bukan lagi.. Panas? Bisa terjadi sewaktu-waktu..hujan? ada.. Debu? Banyak.
How to:
Level 1: Jalan-jalan
sore keluar rumah.
Coba perhatikan seberapa nyamannya kamu ketika berada di luar rumah. Apakah
kamu mampu menjalani hari di tengah sinar mentari yang jauh dari hembusan AC
dari plafon kamar? Apa kamu suka ngomel sendiri kalo Kopaja lewat depan batang
hidungmu meninggalkan tinta cumi yang bau itu? Yap, bahkan pendaki level dunia
pun bakalan naik pitam sih, jadi ini bukan tolak ukurnya (ha.. untung aja)
Level 2: Jalan-jalan
jauh dari rumah dan dengan waktu yang lama. Pendakian ke Himalaya bukan seperti naik
gunung Gede yang hanya sehari (level intermediate climber) loh ya.. tapi butuh
berhari-hari bahkan hitungan minggu. Bisakah kamu bertahan lama, jauh dari
bantal guling kesayanganmu itu?
Level 3: Light
Ekspedisi. Ini adalah
miniatur ekspedisi yang dibuat mirip dengan ekspedisi utamanya. Misalkan kalau
kamu mau ke Everest, berarti dalam Light Ekspedisi ini harus mencari gunung
yang punya karakter yang sama seperti Everest, dengan jarak yang tidak terlalu
jauh (dari tempat tinggal) dan jauh lebih murah biayanya. Tujuannya: kamu bisa
berlatih segala aspek dalam ekspedisi untuk bisa merasa nyaman saat di gunung
sebenarnya.
5. Behave. Ingatlah bahwa kamu adalah representasi negaramu, suka-tidak suka, mau
tidak mau. Kamu bakalan jadi “ambasador” instan, yang setiap tindak tandukmu
bakal mengecap negaramu. Misalkan: kamu sering kentut sembarangan, dan ada
orang lain yang terimbas..”oh ternyata orang Indonesia itu kentutnya bau
banget!!” kita tidak bisa mengontrol pikiran orang untuk tidak menjeneralisasi,
tapi siap-siap aja.
How to:
Level 1: Pelajari budaya setempat
Menghormati budaya setempat sebenarnya sudah sangat cukup untuk membuatmu 'aman' berkegiatan, karena dengan begitu kamu sudah masuk dalam kategori 'akamsi' atau Anak Kampung Sini yang sudah dikenal orang, karena tabiatmu yang ramah dan hormat itu
Level 2: Gunakan Identitas Budayamu sendiri tanpa menyinggung yang lain
Cukup sederhana memang, karena budaya kita adalah yang sehari-hari kita gunakan, tapi.. dampak dari globalisasi sekarang, bukan tidak mungkin adanya pemikiran bahwa pakai Batik itu harus di momen kondangan saja, sedangkan celana jeans adalah budaya dunia yang kurang tepat untuk digunakan dalam pendakian gunung.
Level 3: Aksi!
Tidak harus aksi yang mengundang panitia Guiness Book Of Records kok, cukup aksi sosial yang mudah dilakukan. Kalo ada yang membutuhkan, segera tolong, atau berniat membantu. itu saja sudah cukup. Indonesia punya buanyak banget suku, dan kita bisa akur karena sifat bangsa ini yang ramah dan suka menolong.
6. Kalem. Ini kunci utama saat kamu berkegiatan di ketinggian. Tubuh pendaki
biasanya terefek oleh rendahnya tekanan oksigen pada ketinggian 2500 mdpl
keatas, sedangkan pegunungan Himalaya punya tinggi berkali lipatnya. Supaya
tubuhmu bisa beradaptasi dengan mantap, singkirkan kebiasaan buruk yang suka
sradak-seruduk. Dijamin, kamu bakal sukses beraklimatisasi.
How to:
Level 1: Tepati jadwal pendakian
Kuncinya memang disiplin waktu, karena kalo ada yang suka menunda-nunda dan biasanya bilang "istirahat dulu ah, ntar tinggal dipercepat langkahnya menuju camp berikut" kayaknya sulit untuk membuatmu sukses mendaki Himalaya.
Level 2: Belajar Sabar
Pendaki obsesif biasanya sulit banget untuk belajar sabar, pengenya duluan, lebih cepat sampai, lebih tinggi.... ketahuilah sesuatu yang berlebih itu kadang buruk hasilnya.
Level 3: Miliki 'switch' untuk mendaki gunung yang berbeda
artinya punya kemampuan adaptif soal tipe pendakian yang dilakukan, pacing dan tekniknya. Karena mendaki gunung yang satu akan sangat berbeda kemampuan mentalnya, kemampuan berjalan, dan tekniknya dengan gunung yang lain.
Jangan lupa setiap manusia itu unik dengan kemampuan yang berbeda juga, ketahui diri sendiri dahulu untuk menentukan latihan dan teknik yang tepat. Sudah waktunya untuk berkonsultasi dengan yang ahli, misalkan dokter pribadi atau personal trainer.